Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Politik

Hormati KPU, Quick Count Jangan Buat Gaduh

13 Desember 2020   23:11 Diperbarui: 14 Desember 2020   08:05 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Demokrasi mendamaikan, ilustrasi (Foto Bukulapak.com)

Demokrasi modern memang menyajikan produk yang instan. Hal itu dapat terlihat dari proses panjang seperti dalam tahapan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), mulai dibuat ringkas. Hasil penghitungan suara yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) pun seolah 'diambil-alih' lembaga Survey. Gaungnya KPU menjadi tereduksi.

Menariknya fenomena pawai atau konvoi telah dilakukan pendukung calon hanya karena hasil dari penghitungan cepat (quick count). Begitu sederhananya opini publik dibangun. Bahkan sampai terjadi kerumunan, protokoh kesehatan Covid-19 pun dilanggar. Demokrasi berubah tak membawa kedamaian.

Sebetulnya, manfaat dari teknologi informasi yang menunjang akses sekaligus akselerasi demokrasi jangan sampai membawa musibah. Yang akhirnya melumpuhkan. Merusak reputasi dan peran lembaga formal konstitusional dari KPU. Masyarakat, terlebih pendukung calon Kepala Daerah harus dieduksi. Dihimbau untuk bersabar, menahan diri agar tidak terburu-buru mengekspos kemenangan secara fulgar, atau secara frontal.

Janganlah kita menjadi penyembah ''berhala'' yang bernama Lembaga Survey. Harusnya, keputusan final kontestasi Pilkada Serentak 2020 berada di ujung palu ketukan Pleno KPU. Bukan yang tertuang dalam jumpa pers, pemberitaan media yang disampaikan Lembaga Survey melalui Quick Count (QC). Begitu pula yang tersaji dalam running text di layar Televisi. Itu hanyalah instrument pengendali opini.

Mari kita tempatkan QC pada tempatnya. Yang dihasilkan QC bukanlah satu-satunya keputusan final dan mengikat, melainkan sebagai data pembanding. Dengan begitu kita tertibkan segala macam perang opini yang berkembang. Para calon Kepala Daerah masih punya kesempatan mengajak simpatisan dan pendukungnya agar sejuk dalam berdemokrasi. Jangan sampai disesatkan hanya dengan hasil QC.

Lembaga survey itu secara legal formal mempunyai posisi bargaining politis. Berbeda dengan KPU dan juga Bawaslu yang independen. Kemandirian dua lembaga ini tidak dapat diintervensi. Bukan melahirkan hasil yang by order. Melainkan menjadi wadah, jembatan dan instrument yang professional mengurus tentang proses Pilkada sampai hasilnya secara baik, benar serta berdasarkan aturan perundang-undangan.

Membangun opini menang dengan melibatkan Lembaga Survey dan media massa, memang menjadi strategi ampuh bagi sebagian politisi. Terlebih petahana, walau begitu publik tak boleh mengabaikan realitas dan objektifitas. Semua perdebatan atau klaim kemenangan dalam Pilkada harus kembali ke Pleno manual dari Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dan juga KPU. 

Terkait Daftar Pemilih Tetap (DPT), pemilih siluman, pemilih ganda dan juga dugaan politik uang pun masih mencuat. Bahkan, sudah ada kandidat Kepala Daerah yang telah menyiapkan data (dokumen) untuk menempuh jalur sengketa Pilkada di Mahkamah Konstitusi. Karena jika terbukti ada politik uang, maka calon Kepala Daerah terancam didiskualifikasi. Tidak main-main aturannya.

Dalam Pasal 187A ayat (1) dijelaskan soal calon Kepala Daerah yang terbukti secara Terstruktut Sistematis dan Masif (TSM) terbukti melakukan politik uang, maka akan dikenakan sanksi. Bahwa setiap orang yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan untuk mempengaruhi pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu diancam paling lama 72 bulan dan paling banyak Rp. 1.000.000.0000,00.

Kiranya para calon Kepala Daerah dapat menghimbau dan kembalikan ke barak, para simpatisannya agar riak-riak melalui konvoi tidak dilakukan brutal. Tentu ini menjadi penting, agar tidak terjadi aksi reaksi para pendukung yang berujung chaos. Para kandidat Kepala Daerah harus menjadi negarawan yang baik, diantaranya harus menahan diri dan menunggu proses pleno berjenjang yang dilakukan KPU. Jangan juga calon Kepala Daerah ikut menjadi pemantik konflik.

Tak boleh tampil didepan membangun opini sesat. Hargai kelembagaan KPU yang punya otoritas memutuskan dan menetapkan siapa pemenang di Pilkada Serentak 2020 ini. Mengendalikan nafsu berkuasa merupakan hal penting saat ini. Karena bagaimana pun, dengan hasil publikasi QC membuat sebagian pendukung bersorak-sorai dan sebagiannya lagi kecewa, putus asa. Itu sebabnya kehadiran kandidat Kepala Daerah yang bijak sana menjadi penting.

Kurang elok rasanya, para kandidat Kepala Daerah iku-ikutan membangun opini pemenangan. Semestinya menerangkan ke pendukungnya bahwa yang disampaikan Lembaga Survey tidak wajib ditanggapi berlebihan. Publik harus diajarkan memberi menempatkan KPU pada porsinya. Janganlah sebelum KPU menetapkan keputusan, para kandidat Kepala Daerah mendahului itu. Kalianlah figur yang dijadikan teladan bagi para pendukung.

Selain itu, ragam proyek politik yang disiapkan biasanya ditukar-gulingkan dengan kepentingan pemenang. Dari pihak atau kandidat yang dalam kalkulasi politik dan paparan QC merasa peluang menangnya kecil. Sehingga memudahkan dibangunnya konspirasi. Yang ujung-ujungnya melahirkan kompromi kepentingan, koalisi dadakan, menjadikan kandidat tertentu sebagai musuh bersama. Termasuk cara-cara seperti ini akan membahayakan demokrasi.

Demi kepentingan pribadi dan kelompok, demokrasi dirusak. Atas nama birahi kekuasaan para politisi melakukan barter kepentingan yang sangat kurang ajar. Sampai-sampai KPU belum memberikan keputusan finalpun, mereka mulai saling memberi ucapan. Ikut memperkuat opini bahwa salah satu kandidat Kepala Daerah sudah memenangkan kompetisi Pilkada. Padahal QC punya margin of error, dan sering kali salah dengan hitungan manual KPU.

Ketika Lembaga Survey sekedar sebagai pembanding, ini tak jadi soal. Keliru jika Lembaga Survey menjadi alat legitimasi membangun opini, ini bakal merusak pola pikir publik. Akan membahayakan, marilah kita menahan diri menunggu Pleno yang tengah berlangsung di KPU. Saling klaim menang dihentikan dulu. Perang opini sesama tim dihentikan sejenak, sembari menunggu hasil resmi dari KPU agar demokrasi kita tidak gaduh.

Kondusifnya demokrasi perlu dijaga betul. Terlebih diujung perjuangan para kandidat Kepala Daerah. Jangan menyulut emosi pendukung dengan statemen yang kurang mendidik, jangan sampaikan diksi yang membuat para simpatisan tersulut emosinya. Bangun narasi yang sejuk. Tidak perlu over dalam merespon hasil QC. Sebab, kondisi dan sikap para calon Kepala Daerah akan menjadi perhatian publik. Sebaiknya jangan dulu kasak-kusuk, tertibkan pendukung agar mengawal semua tahapan Pleno di KPU secara berjenjang.

Demokrasi akhirnya menjadi seperti orang bahlul (bodoh). Dimana mesin demokrasi yang diharapkan mencerdaskan masyarakat, membuat pintar konstituen malah melahirkan ''demokrasi bahlul''. Begitu mengecewakan, mencemaskan masyarakat. Dengan lahirnya demokrasi bahlul melahirkan kesimpulan bahwa sistem demokrasi kita sedang tidak sehat. Sedang sakit kronis mental pelaksana demokrasi kita. Kompleksitas masalah itu ditandai dengan praktek politik uang. Hingga rekayasa dan pendekatan intervensi lainnya yang dilakukan terhadap pemilih.

Ingatlah, demokrasi mesti mendamaikan masyarakat. Bukan malah membuat gaduh. Percuma semua regulasi dan teori, seperti runtuh, ketika praktek demokrasi masih saja melahirkan petaka.

Pertengkaran, permusuhan, konflik dan kriminalitas dianggap hal lumrah dalam praktek demokrasi, itu sama saja kita sepakat mengatakan bahwa demokrasi masih gagal. Masih ketinggalan, belum mampu menjalankan tugas-tugas mulianya sebagai alat membawa masyarakat pada cita-cita idealnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun