Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Demokrasi dan Septic Tank

17 November 2020   10:30 Diperbarui: 17 November 2020   18:30 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keduanya, demokrasi dan septic tank adalah alat. Fasilitas atau wadah yang dipakai untuk menampung suatu hal. Kalau septic tank instrumen penampung tinja atau urine. 

Maka demokrasi sebagai alat pengambilan keputusan, dapat berupa aspirasi dan mekanisme seleksi kepemimpinan. Secara operasional, tanpi nyaris sama. Yakni kedua-duanya sebagai objek.

Sehingga demikian ketika berlebihan (over kapasitas) akan berdampak buruk. Begitu pula dengan formula mengoperasikan demokrasi maupun septic tank. Perlu komitmen menjalankan hal-hal yang dianggap benar, secara benar. 

Tentu sebagai aktor demokrasi, sekaligus budak dari sistem demokrasi kita tidak rela demokrasi disamakan derajatnya dengan saptic tank. Namun dalam prakteknya, kadang membuat merinding dan sedih.

Dimana demokrasi oleh aktor-aktor politik dijadikan alat dagangan. Demokrasi yang memperkuat keakraban masyarakat melalui musyawarah mufakat, sering berujung ricuh. Prakteknya demokrasi ditukar tambahkan dengan uang atau materi. Alhasil, dalam Pilkada Serentak dan Pemilu sering kita saksikan, suara masyarakat dihargai dengan politik transaksional (money politic).

Seperti itulah, tangki septik (septic tank) yang merupakan suatu bak depan air yang berfungsi sebagai penampungan limbah kotoran manusia (tinjau atau urine), demokrasi bukan berisi kotoran. Itu sebabnya, praktek-prakteknya perlu kita muliakan. Jangan kita seolah melegalkan, menjadikan politik uang sebagai tradisi suci atau hal yang lumrah terjadi dalam tiap momentum demokrasi.

Kalau kita ramai-ramai membiarkan demokrasi dihiasi politik kotor dan licik, itu bertanda kita sepakat bahwa demokrasi yang kita agungkan ini sama level marwahnya dengan saptic tank. 

Atas tantangan tersebut, mestinya elit partai politik dibantu para ahli, akademisi atau konsultas, mereka yang mengatakan dirinya pegiat demokrasi untuk menyelamatkan demokrasi dari hantaman politik uang. Demokrasi bukan bertujuan membayar-bayar masyarakat untuk memilih calon pemimpin.

Mesin pendidikan politik harus dihidupkan. Jika telah hidup, segmen edukasinya perlu diperluas. Diaktifkan terus, karena dalam tiap waktu dan kesempatan demokrasi tidak pernah kehilangan tantangan. 

Seperti politik sentimentil, yang mendorong isu-isu Suku Agama Ras dan Antar golongan (SARA), juga disisi lain sebagai jebakan bagi demokrasi. Ketika lengah, maka kemerosotan demokrasi makin terjadi.

Jika orang-orang melakoni demokrasi dengan cara-cara tokor dan tanpa sopan santun, maka derajat demokrasi direndahkan. Sama seperti rendahnya posisi septic tank. Jangan mengabaikan yang nama nilai-nilai universal kemanusiaan, itulah jalan keselamatan berdemokrasi. Sedikit pun tak boleh kita buka ruang menggadaikan hak-hak demokrasi untuk mencari keuntungan pribadi.

Rakyat Indonesia yang beragam ini diajarkan etika dan moralitas. Ini sebagai alat deteksi agar kita tidak menyesatkan demokrasi di luar koridor, dan mengecilkannya dengan sekedar politik uang. Isi di dalam septic tank itu sangat bau, tapi bila demokrasi tak diurus dan dikontrol dengan baik, isi dari demokrasi bahkan lebih bau busuk dari isi sapic tank. Karena aka nada 'penghianatan' manusia atas manusia. 'Pembunuhan' manusia atas manusia dari aspek hak-haknya.

Dapat bermunculan rekayasan, konspirasi untuk menjegal pihak lain. Demi menang dalam kompetisi demokrasi, sering terjadi praktek menghalalkan segala cara seperti yang dikatakan Machiavelli. 

Demokrasi menjadi angker, seolah-olah menjadi rumah hantu. Silahkan kita bersatu padu, bangunkan lagi demokrasi yang mungkin dipaksa tidur. Kecurigaan saya, demokrasi dipaksa tidur atau dijatuhkan para elit politik dan pemilik modal yang rakus kekuasaan.

People power adalah solusinya. Terlebih rakyat sipil harus melahirkan kesadaran kritis. Kalau pemerintah Indonesia belum maksimal menjadi contoh, minimal kita minta untuk tidak membungkam suara-suara kritis dari rakyat. 

Hanya dari rakyatlah solusi menyehatkan dan menyelamatkan demokrasi bisa berjalan efektif. Harapan kita yang besar ke partai politik rupanya belum berjalan dengan baik. Entah diabaikan ataukah malah dilawan?.

Padahal kita sebagai rakyat hanya menghendaki demokrasi jangan dikotori. Jangan pula dilumuri kotoran yang berbentuk rekayasa, politik uang, politik SARA dan politik sembako. 

Partai politik melalui elitnya yang semula dijagokan, diandalkan sebagai corong memperkuat demokrasi agar tidak salah jalan, sampai saat ini sepertinya masih belum mampu mewujudkan ikhtiar itu.

Rakyat sipil tentu dalam posisinya dapat diartikan sebagai alat revolusi. Kiranya dapat kompak, melakukan perubahan mengoreksi demokrasi yang mulai kotor dan bau busuk dalam prakteknya. 

Dengan adanya kesadaran tersebut, berarti secara otomatis kepercayaan terhadap para elit partai politik dan terlebih elit pemerintah mulai memudar. Ada mosi tidak percaya, dan ragu. Tapi bukan diinterpretasikan sebagai tindakan makar atau melawan kekuasaan dengan cara inkonstitusional.

Kita sedang dalam upaya membangun kesadaran. Itu artinya rakyat harus berani dan tegas menolak yang nama praktek uang. Kita menyampaikan jihad politik, mengatakan perang terhadap politik uang. 

Politik tipu-tipu, politik gelap, politik yang penuh propaganda dan menjual-jual atas nama aqidah dalam interaksi politik praktis. Rakyat berjuang melawan ketimpangan dan praktek sectarian tersebut.

Karena sekali lagi semua itu berimbas pada rusak demokrasi. Penataan nilai-nilai demokrasi yang universal, menjadi tercoreng dan hancur hanya karena praktek berpolitik yang tidak baik. 

Selain itu, praktek politik uang juga sangat tidak produktif jika kita tarik korelasinya dengan tema-tema atau visi pembangunan nasional. Tugas kita menghubungkan garis pembangunan dari periode ke periode, bukan memutus mata rantainya.

Kalau penularan Covid-19 ya tak masalah kita memutus mata rantainya. Tapi soal pembangunan, jangan dibuat begitu. Perlu disambungkan terus. Roda pembangunan di Indonesia terus didorong, mengalami progress. 

Bukan yang sedang dan tengah dibangun malah dipatahkan, dilawan atau dihentikan. Kemudian, semua spirit atau fundamen itu berasal dari sistem demokrasi kita. Terlebih dalam proses seleksi kepemimpinan yakni Pilkada Serentak dan Pemilu.

Kita tidak pernah mau demokrasi disetarakan dengan septic tank. Baik bauhnya yang membuat mual, posisinya yang dilihat dari jauh saja sudah membuat kita tidak nyaman. Baru dari luarnya saja membawa kesan jorok. Demokrasi kita dindarkan dari pandangan seperti pada septic tank. Berarti demokrasi harus menyenangkan kita. Membuat kita rakyat tersenyum gembira, bukan menutup hidung saat berada disekitarnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun