Penjara adalah tempat bagi para kriminal
bukan bagi orang yang berbeda pandangan politik (BJ Habibie)
KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia) telah ditangkap, karena dugaan menunggangi aksi buruh dan aktivis mahasiswa menolak Undang-Undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja. Situasi Indonesia pun, seperti mulai melahirkan ketegangan. Kenyamanan belum menjadi garansi, meski kita berada di negara penganut ideologi demokrasi. Karena masih ada elit kita yang bersikap seperti anti demokrasi.
Sejumlah aktivis dan petinggi
Teriakan menolak dan membatalkan UU Omnibus Law mestinya tidak dipandang secara sinis. Tak perlu pemerintah antipati, atau emosional menyikapinya. Karena rakyat akan murka. Pendekatan dialog, masih bisa dilakukan harus ditempuh. Jangan marah-marah pada rakyatnya sendiri. Yang dilakukan elemen rakyat melalui demonstrasi belum lama ini hanyalah reaksi atas sikap Wakil Rakyat (DPR RI) yang mengesahkan RUU Omnibus Law.
Anggota parlemen di Senayang sepertinya terlalu terburu-buru mengesahkan RUU Omnibus Law. Rakyat yang memberi masukan dengan demontrasi seolah diabaikan. Semenjak menjadi RUU, UU Omnibus Law sudah menuai protes. Sayangnya, wakil rakyat terkesan menampilkan sikap congkaknya. Mengabaikan aspirasi dan masukan rakyat, terlebih para buruh. Wajar bila rakyat marah dan melakukan demo massal.
Tak wajar juga para demonstran yang adalah rakyat Indonesia itu disalahkan. Mereka dan bahkan saya secara pribadi, protes karena merindukan keadilan benar-benar ditegakkan pemerintah. Protes didasarkan atas pertimbangan rasional, bukan karena berbeda pandangan dan haluan politik. Belum lagi kita manusia yang majemuk, berbeda budaya, latar belakang ekonomi, pendidikan, psiko-sosial
 Tak ada satupun demonstran yang saya temui berniat membuat rusuh. Mereka yang doyan keonaran hanyalah ''penumpang gelap''. Bukan murni anak kandung demokrasi, itu sebabnya jika demonstrasi berakhir anarkis, jangan langsung membabi-buta menyalahkan seluruh pendemo. Tapi, aparat bertugas mengecek secara detail apa sebab-akibat yang dimunculkan. Supaya menghindari dari sikap tangkap-menangkap orang yang salah.
Karena sikap aparat jika salah menangkap, juga berdampak melahirkan terror ketakutan bagi publik. Terpantau kebanyakan tuduhan kepada para aktor intelektual yang mendalangi aksi, terkesan tendensius. Mereka tokoh yang vokal mengkritik pemerintah selalu menjadi sasaran, diintai, dianggap mengatur skenario aksi dan membuat gaduh.
Akhir-akhir ini wajah pemerintahan kita kian sangar. Seolah Indonesia kembali di era Orde Baru yang penuh intimidasi dan kecurigaan terhadap rakyat sipil. Terbaca pemerintah masih sensi jika dikritik. Walau kritik itu sebetulnya menyehatkan roda pembangunan. Budaya kritik harusnya dirawat, dipelihara agar tidak pudar. Janganlah kritik dianggap bagian dari sentiment negatif. Mereka yang mengkritik bisa juga kawan, bukan semuanya diposisikan sebagai musuh pemerintah.
Ketika pemerintah terlalu reaksioner, maka obat dan racun bisa saja tak dapat dibedakan. Masih ada waktu Presiden Jokowi membenahi hal tersebut. Menerima demonstran dengan mengajak dialog, membuat forum percakapan publik seluas-luasnya. Karena dengan begitu, pemerintah akan mendapatkan amunisi, serta inspirasi untuk menyempurnakan kebijakan. Terutama dalam konteks ''UU Sapu Jagad''.