Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Penolakan UU CK, Covid-19, dan Kepentingan Kemanusiaan

9 Oktober 2020   18:32 Diperbarui: 11 Oktober 2020   09:01 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Demo tolak Omnibus Law (Foto Detik.com)

Dari sisi urgensi, manfaat, substansi pokok Undang-Undang Cipta Kerja (CK) tentu ada. Dimudahkan dengan Peraturan Pelaksana berupa Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden yang dibuat guna menyederhanakan UU CK dijalankan. Kesempurnaan di dunia kerap saja mendatangkan pro kontra. Hal itu terjadi dimana Presiden Ir. Joko Widodo dan Wakil Presiden Republik Indonesia, KH. Ma'ruf Amin sedang memantapkan menyisir agar tidak mubazir dan tidak tumpang tindih.

Bukan meringkas, atau membuat aturan menjadi menyengsarakan rakyat. Lalu menghilangkan esensi kerakyatan dalam sebuah produk regulasi. Bukan seperti itu tujuannya. Tapi tetap saja kritik otokritik dari publik diperlukan.

Pemerintah berusaha maksimal, dan total melakukan omnibus law yang pro rakyat kecil. Ada upaya sungguh-sungguh untuk dapat keluar dari jebakan negara berpenghasilan menengah (middle income trap) dengan adanya bonus demografi yang dimiliki Indonesia. Pemerintah tentu punya kalkulasi dan estimasi terkait masalah serta solusi yang akan dilahirkan. 

Pemerintah (eksekutif dan legislatif) tentu memperkuat argumen, juga yakin UU Cipta Karya sangat bermanfaat. Karena dinilai mendukung untuk UMKM. Berpihak pada pengembangan koperasi, sertifikasi halal, pro terhadap kepentingan nelayan, diperbanyak perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah, kemudahan perizinan berusaha, dan seterusnya alasan lainnya. Dengan ragam klaster, di antaranya seperti klaster peningkatan ekosistem investasi, klaster ketenagakerjaan, klaster UKM-K dan koperasi.

Tak hanya itu, terdapat kemudahan dalam klaster riset dan inovasi serta kemudahan berusaha, lalu klaster perpajakan. Setelahnya, ada klaster kawasan ekonomi dan pengadaan lahan, klaster administrasi pemerintahan. Ada pula klaster investasi pemerintah dan kemudahan proyek strategis nasional dengan variannya.

Tak lupa pula ada penataan ulang sanksi dengan penetapan ultimum remedium. Bagi pelanggar UU dikenakan sanksi administrasi dan sanksi pidana. Seperti diketahui UU Cipta Lapangan Kerja dan UU Pemberdayaan UMKM dijadikan satu, sekaligus direvisi yang dikenal dengan istilah omnibus law. Gebrakan pemerintah yang tergolong baru ini mendapat perhatian serius rakyat Indonesia. Bahkan, akhir-akhir ini sejumlah Kepala Daerah di Indonesia menyampaikan pandangan agar UU CK dimantapkan lagi untuk lebih populis.

Ketika membaca rekapitulasi peraturan pelaksanaan UU CK melingkupi Kementerian/Lembaga, kurang lebih 18. Diantaranya, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kementerian Keuangan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang.

Tak hanya itu, cakupannya juga dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian ESDM, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan. Juga Kementerian Perhubungan, Kementerian Kesehatan, Kementerian Koperasi dan UMKM, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Desa Pembangunan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi dan Kementerian Agama.

Setelah dicermati, secara komprehensif rakyat juga masih meragukan dengan munculnya UU di tengah pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) ini. Atas keraguan itu, lahirlah gelombangan protes publik. Terpantau dari demonstrasi yang dilakukan buruh, aktivis mahasiswa lintas organisasi, rakyat umumnya. Pada konteks stabilitas demokrasi tentu ini menjadi alarm bagi pemerintah. Bahwa ternyata ada yang belum clear.

Mirisnya ada tanggapan yang klasik disampaikan pimpinan DPR RI. Dimana Ketua DPR RI, Puan Maharani bicara dengan kapasitasnya hanya menanggapi ringan dan menyarankan agar rakyat yang protes UU tersebut menempuh jalur hukum. Seperti rakyat diperhadapkan melayan produk negara. Paradigma itu sebetulnya dikoreksi, idelanya sebelum disetujui sebagai UU, dimanfaatkanlah uji publik seluas-luasnya.

Jangan membawa kesan seolah-olah DPR dan eksekutif memanfaatkan situasi bencana non-alam (COVID-19) sebagai momentum mempercepat RUU CK ditetapkan sebagai UU. Fakta aksi massa menolak omnibus law secara terbuka mereduksi horor tentang bahaya penularan COVID-19. Jangan-jangan COVID-19 hanyalah hantu? yang bersifat gaib. Rakyat kita sudah mulai jenuh, dan tak takut lagi dengan cerita menakutkan tentang COVID-19.

Buktinya demo dengan melibatkan kerumunan massa. Pihak penegak hukum pun seperti melakukan pembiaran. Unjuk rasa yang digambarkan sebagai ledakan demokrasi ini terjadi serentak, Kamis 8 Oktober 2020. Dengan spirit kolektif membela kepentingan kemanusiaan, rakyat yang direpresentasikan mahasiswa, kaum buruh dan kelompok termarginal rama-ramai turun jalan menyampaikan aspirasinya.

Mereka menolak omnibus law yang dinilai mencederai kepentingan publik. UU CP dicurigai menjadi pintu masuk bagi pekerja asing dan investor asing dalam melakukan agresi kepentingannya di Indonesia. Kalau kita cermati disatu sisi, ternyata penerapan disiplin COVID-19 masih longgar. Kadar kemampuannya lebih dibawah level dibanding perjuangan kepentingan kolektif seperti digambarkan dalam demo massa menolak UU CK di Indonesia. 

Setidaknya resistensi publik ini menjadi peta jalan untuk kita lebih merdeka dari cerita-cerita menyeramkan tentang bahaya COVID-19. Kekhawatiran untuk berkumpul melakukan diskusi, berbaur dalam kerumunan. Cukup lama kita terseret, dan seolah tersesat dalam skema ketakutan untuk bersosial. Rakyat disodorkan larangan berdekatan fisik, harus berjarak (social distancing), sehingga masyarakat menjadi anti-sosial. Dilarang berkerumun seperti tahun-tahun sebelum COVID-19. Aksi massa menolak UU CK menandakan kita mulai merdeka dari larangan berkerumun.

Seperti yang tercapture, ini beberapa tuntutan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) yang disampaikan dalam unjuk rasa belum lama ini. Diantaranya, UMK bersyarat dan UMSK dihapus. Buruh menolak keras kesepakatan tersebut. Berikut, buruh menolak pengurangan nilai pesangon dari 32 bulan upah menjadi 25 bulan. Dengan rincian, 19 bulan dibayar pengsuaha dan 6 bulan dibayar BPJS Ketenagakerjaan.

Selanjutnya, PKWT atau kontrak seumur hidup tidak ada batas waktu kontrak. Buruh menolak PKWT seumur hidup. Kemudian, Outsourcing pekerja seumur hidup tanpa batas jenis pekerjaan yang boleh di outsourcing. Waktu kerja tetap eksploitatif. Buruh menolak jam kerja yang eksploitatif. Setelahnya buruh menolak hak cuti hilang dan hak upah atas cuti hilang. Setelahnya, karena karyawan kontrak dan outsourcing seumur hidup, maka jaminan pensiun dan kesehatan bagi mereka hilang. Inilah yang menjadi substansi penolakan buruh terhadap UU CK.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun