Martabat dan kedulatan politik mereka menilainya setara dengan pemberian materi. Luar biasa rendahnya, pemikiran mereka menilai hak-hak politik rakyat.
Rakyat harus diedukasi agar tidak dibodohi dengan pemberian sembako, pemberian uang tunai, kemudian dengan misi memilih kandidat Kepala Daerah tertentu. Mestinya kedudukan rakyat dimuliakan, bukan diremehkan.
Gejala itu mulai terbaca di seluruh Indonesia dalam Pilkada Serentak 2020. Dimana cukong menyelinap, bahkan hadir terang-terangan menjadi kontestan politik.
Aktivis pro demokrasi dan para akademisi, kelompok masyarakat yang masih sehat rasionalitasnya agar mencerahkan rakyat, jangan lengah. Ajak rakyat berfikir produktif, mengenali skala prioritas. Tidak dimanfaatkan hak suaranya untuk kepentingan cukong.
Karena sudah pasti, seperti dalam hukum ekonomi. Mereka yang membuang atau memakai dana (materi) untuk kebutuhan sesuatu, baik itu perjuangan politik atau berbisnis, yang diharapkan adalah keuntungan berlipat.
Dalam Pilkada bisa saja kandidat Kepala Daerah memberi uang, dan setelah menang, mereka akan menampung uang. Mengambil kembali uang yang dikeluarkannya tersebut. Jalannya bisa bermacam-macam.
Bisa melalui barter proyek, monopoli dana APBD untuk kepentingan tertentu. Pembangunan daerah tidak serius dilakukan.
Bahkan, tragisnya mereka berpotensi melakukan praktek korupsi. Sesuatu yang bukan haknya, dicuri, diambil untuk kepentingan ilegal, inkonstitusional. Betapa merugilah kita rakyat kecil, bila memilih cukong untuk memimpin kita. Mau ataupun tidak, cukong itu berwatak serupa makelar.
Bahayanya cukong, mirip dengan bahanya drakula. Yang tak pernah tau dan mengenal sahabat. Ketika berulah, mencari darah, siapapun yang punya darah akan diambilnya.
Sehingga perlunya kita mendeteksi, siapa yang berafiliasi dan menjadi cukong dalam pelaksanaan Pilkada Serentak 2020.
Agar rakyat tau betapa picik dan liciknya para cukong ini. Mereka punya agenda eksternal yang membahayakan rakyat.Â