TIDAK terbatas dan sempit ruang lingkup politik. Area politik itu luas cakupannya. Persentuhannya dengan kekuasaan, lalu muaranya akan bicara atau memperjuangkan tentang kemanusiaan. Politik itu sederhana, tidak berat, pekerjaan mulia, juga mengasyikkan.
Dipersepsikan berat, jika konteks kekuasaan menjadi rebutan karena desakan kepentingan pribadi. Mestinya, politik menjadi ladang pengabdian. Dalam politik juga ada orang-orang tamak. Sifat ketamakan membuat mereka lupa diri, lupa rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.
Jika kita membaca Indonesia aktual, tantangan kita tak mudah. Terlebih saat menggelar Pilkada disaat darurat kesehatan. Kita mengenal dengan istilah bencana non-alam atau penularan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).Â
Bobot ancamannya ternyata tidak berhasil menggoyahkan keputusan politik pemerintah bersama stakeholder untuk menggelar Pilkada 9 Desember 2020. Siklus penggantian kepemimpinan di daerah kali ini tidak mudah, tidak murah pula. Melainkan penuh resiko perjuangan.
Karena masyarakat dan competitor dalam Pilkada dalam hal ini kandidat Kepala Daerah sama-sama berpeluang terjangkiti atau terpapar COVID-19. Kita semua agak kesulitan menghindarkan diri dari kerumunan dalam pesta Pilkada.Â
Sudah menjadi tradisi kita berdemokrasi di Indonesia, Pilkada atau Pemilu tidak pernah senyi. Kita terbiasa berdemokrasi dengan ramai, ceria gembira dan bahkan pesta pora. Sering kali juga ditambah dengan mabuk-mabukan yang mengundang tindakan kriminal.
Pilkada di musim pandemi COVID-19 relatif berbeda. Masyarakat diharuskan beradaptasi dengan kondisi pandemi, bersabahat dengan COVID-19 bahkan dianjurkan. Adaptasi kebiasaan baru dengan menggunakan masker, hand sanitizer, mencuci tangan, kemudian memakai face shield.Â
Pilkada dengan disiplin tinggi ini menjadi harapan kita bersama. Menurut perkiraan saya, di hari H pelaksanaan Pilkada, tentu akan banyak masyarakat yang kesulitan menyesuaikan situasi tersebut yang diterapkan KPU dan Bawaslu nantinya. Berpotensi banyak yang melanggar protokol kesehatan.
Memperhatikan alasan pemerintah agar jangan sampai terjadi vakum of power (kekosongan kekuasaan) di daerah. Mangkraknya pembangunan di daerah yang akan dihelatnya Pilkada. Karena saat melewatinya periodesasi pemerintahan daerah, maka terjadilah pengangkatan Pejabat Sementara Kepala Daerah yang berpotensi melahirkan kerawanan pada sisi lainnya. Kemudian, keterbatasan Pejabat Sementara Kepala Daerah yang tak bisa mengambil keputusan strategis membuat kita yang mengerti tata aturan pemerintahan ikut mengiyakan keputusan tetap menjalankan Pilkada tersebut.
Selanjutnya, memang tidak sedikit politisi yang tamak (serakah). Ada yang rakus jabatan, sukanya memonopoli. Bersikap jahat dan kasar pada masyarakat melalui kebijakannya saat memegang jabatan di puncak kekusaan. Pengambil kebijakan yang berwatak otoriter, sombong lalu menganggap dirinya paling benar di atas masyarakat umumnya. Sejatinya dalam politik itu tentang pelayanan. Kekuasaan menjadi tangga atau jembatan dan wahana kreasi bagi mereka yang tulus melayani masyarakat.
Bahaya nantinya kalau politik dimaknai sekedar rebutan kepentingan. Merangkul kawan dan menghajar lawan (rival). Di Kota Manado dalam hajatan Pilkada Serentak 2020 cukup mengundang perhatian kita untuk jeli membaca dinamika. Jangan terbawa emosi sesaat, kegembiraan berlebihan, sehingga membuat sesama simpatisan Kepala Daerah saling menghujat.Â
Merasa paling benar dalam ranah politik juga tak baik. Sebab kebenaran melalui kaca mata politik itu relatif dan subyektif. Saling mengingatkan agar kita semua tidak over menganggungkan calon atau sebaliknya mencaci dan menjatuhkan lawan politik. Diakhir dari pertarungan Pilkada, elit-elit politik kita saling berangkulan.
Jangan sampai kita malu sendiri dengan sikap-sikap kita yang berlebihan itu. Kita masyarakat lapis bawah, yang agak jauh dari akses para penentu kebijakan harusnya saling saying. Menghormati antara sesama, berbeda pilihan itu biasa. Perbedaan itu ibadah, hal yang melekat pada diri kita. Pada tubuh kita pun berbedaan itu sudah ada. Semua itu membuat kita terintegrasi, saling menguatkan, berkolaborasi. Bukan saling mereduksi peran antara satu dengan yang lain.
Kalau kita semua elemen masyarakat mengerti, memahami dan tuntas memaknai praktik politik, tak aka nada permusuhan. Seperti itulah sebab tidak ada yang abadi dalam politik.Â
Perbedaan kepentingan di tahun 2020 bukan berarti menjadi prharaha dalam kehidupan kita di tahun ini pula. Politik itu dinamis, tidak mematikan, sehingga menjalankannya harus dengan kegembiraan dan memegang prinsip persatuan. Saling menghargai posisi sebagai kawan maupun lawan. Kepentingan atau musuh kita bersama adalah kesejahteraan serta kebodohan.
Jangan sampai masyarakat sebagai pemilih dibohongi. Terlampau serius mengurusi suara para calon Kepala Daerah, menghajar entitas masyarakat lainnya yang berbeda haluan politik. Tapi pada akhirnya menjadi tumbal dalam perjuangan.Â
Tidak dihargai, tidak diapresiasi kerja dan dedikasinya terhadap kandidat Kepala Daerah yang telah mati-matian ia perjuangkan. Untuk mengantisipasi itu, masyarakat jadilah masyarakat cerdas berpolitik, dan santun. Jangan terlalu fanatik berlebihan, tunjukkan militansinya dengan kerja edukatif.
Terkadang kita menemukan di lapangan politik penuh citra menampilkan sisi kesalehan pribadi. Sedangkan dari sisi aktualisasi tidak semua yang berpenampilan saleh itu memberi jaminan kesejahteraan dan kebaikan bagi masyarakat dibumikan.Â
Politisi saleh memang amat banyak, terlihat dengan ragam karakternya. Ada yang berpenampilan saleh tapi korupsi, ada yang saleh tapi kikir. Artinya, tidak semua politisi berpenampilan saleh adalah orang baik. Kesalehan sering diperalat untuk mendatangkan simpati publik semata.
Begitu pun masyarakat agar tidak terburu-buru memberi vonis penilaian. Kebanyakan masyarakat kita tanpa sadar terbius atas penampilan, perawakan para politisi kita.Â
Apalagi disaat momentum Pilkada, bantuan sosial diberikan tiba-tiba. Senyum dan tegur sapa ditampilkan, dipentaskan, begitu cepat berlalu. Ketika menang dalam Pilkada, keakraban itu lantas lenyap. Ketika masyarakat merindukan dan mencari kebersamaan itu, mereka kesulitan mencarinya kembali. Tidak mudah menjadi masyarakat yang pandai membawa diri dalam interaksi politik.
Adakalanya masyarakat begitu cepat percaya dengan mulut politisi. Setelahnya, mereka menyesal. Begitu pula sebaliknya, ada yang cepat melaknat, memarah-marahi sekejab, sesudahnya mereka menyesali sikap tersebut. Politik memang begitu berkembang, tidak statis. Perubahan-perubahan itu membuat wajah politik kita terasa begitu kompleks, berwajah ganda dan heterogen. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H