incumbent (petahana) dalam kompetisi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yakni dengan menampilkan prestasi. Kerja kerakyatan menjadi bagian yang perlu direbut non-incumbent. Mereka perlu serius mengambil jalan alternatif sehingga masyarakat bisa tertarik memberi perhatian dan mendukung selain incumbent.
Selain memperkuat konsolidasi, trik lain yang harus dipakai untuk menghambat kemenangan bagiPosisi incumbent yang strategis, kemudian disebut unggul, berpeluang menang kebanyakan mereka tidak mengandalkan kinerja. Melainkan hanya memanfaatkan keberadaan Aparatur Sipil Negara (ASN) sebagai ladang subur penopang suara saat Pilkada. Cara memobilisasi ASN dan politisasi seperti itu yang dilakukan berulang oleh incumbent. Sehingga sebetulnya banyak cela, kesempatan yang dapat dipatahkan non-incumbent.
Bagi incumbent yang punya kinerja, karya mentereng bagi masyarakat, mereka tidak gelisah dan krasak-krusuk. Santai saja mereka. Karena mereka optimis masih dicintai masyarakat, kerja mereka untuk masyarakat akan berbuah manis. Dari kerja populis melalui kebijakan menyelamatkan dan menyentuh masyarakat itulah, incumbent dipilih lagi masyarakat. Tanpa harus mempolitisasi kebijakan, menayahgunakan kekuasaan.
Peluang non-inbumbent terbuka untuk meraih kemenangan Pilkada. Perhatikan saja dalam tiap kebijakan pemerintah di akhir periodenya, terutama bagi petahana, beberapa bulan sebelumnya sebelum lonceng Pilkada dibunyikan, mereka mulai curi start. Bantuan pemerintah dipolitisir, sinergitas di rumah-rumah ibadah sekalipun dipakai sebagai ajang kampanye terselubung. Itu menjadi potret gelisahnya mereka, tentu khawatir tidak dipilih lagi masyarakat saat hari H pelaksanaan Pilkada.
Ruang praksis lainnya yang biasa dimainkan incumbent ialah mereka melakukan intervensi terhadap jajaran penyelenggara Pilkada (KPUD dan Bawaslu). Boleh terlahir melalui bargaining dana hibah yang diberikan pemerintah daerah ke penyelenggara Pilkada. Konsensus, konspirasi dan konsesi politik berpotensi juga dibangun dari situ. Disinilah non-incumbent perlu lihat, cermat membaca situasi interaksi yang dibangun.
Memastikan secara baik dan benar bahwa praktek kecurangan seperti yang pernah terjadi sebelum-sebelumnya tidak akan terjadi lagi. Semua pendekatan itu akan bermuara pada kecurangan hasil Pilkada. Atau secara umum terjadi dalam tiap kali tahapan-tahapan Pilkada. Boleh juga melalui pengimputan Data Pemilih Tetap (DPT) yang ditambahkan melebihi dari yang sebenarnya. Hasil yang diskenariokan tidak wajar, targetnya memenangkan incumbent.
Semua kemungkinan buruk itu harus dicegah non-incumbent. Dibuatkan mapping agar penyimpangan dalam Pilkada dapat dihadang, dan tidak terjadi. Kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan massif tidak akan terjadi jika non-incumbet mengawasi semua tahapan Pilkada dengan selektif. Jangan hanya melimpahkan, menaruh harap pada Badan Pengawas Pilkada semata. Memang sinergitas perlu diciptakan, non-incumbent membangun kemitraan yang professional dengan pengawas Pilkada (Bawaslu). Sembari menguatkan relawan agar ekstra ketat melakukan pengawasan.
Penandatanganan Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) yang melibatkan pemerintah daerah kadang menjadi alat bargaining kepentingan bagi incumbent. Tentu menjadi momentum juga yang 'menguntungkan' penyelenggara Pilkada. Terlibatnya pimpinan DPRD dalam konteks ini juga patut ditelisik. Sekedar mencurigai taka pa-apa, sehingga kesempatan penandatangan NPHD perlu menjadi pintu masuk untuk non-incumbent mengawalnya. Kita berbaik sangka saja, agar anggaran Miliaran rupiah yang dihibahkan pemerintah daerah ke penyelenggara Pilkada itu dipakai sepenuhnya untuk kepentingan Pilkada. Bukan untuk dibagi-bagikan atau menjadi kesempatan korupsi.
Kalahkan incumbent sebetulnya mudah. Persaingannya dibawa pada situasi yang produktif, biar masyarakat juga teredukasi. Bagi non-incumbent punya peluang membangun dan menawarkan program melalui rencana kerja yang lebih baik lagi dari apa yang telah dilakukan atau pernah dijanjikan incumbent. Belum lagi jika ada program dan janji politik semasa kampanye yang belum sempat dijalankan incumbent.
Persaingan semacam itulah yang idealnya dibangun. Pada kelas bersaing program dan kerja yang dibangun iklimnya, bukan menggiringnya ke wilayah pertarungan saling menjatuhkan. Manakala politik berbasis kerja dan program dibangun, yang tercerahkan adalah masyarakat. Debat program yang dibangun sehingga media massa juga diisi dengan pemberitaan yang berbobot terkait kesiapan para kanidat Kepala Daerah. Tidak hanya siap finansial, melainkan menawarkan konsep yang paripurna, relevan dengan kebutuhan masyarakat.
Peluang menang incumbent dan non-incumbent itu sama besarnya. Soal investasi sosial, berupa kerja itu hal lain lagi. Namun dalam ukuran start menuju gerbang kemenangan Pilkada yaitu sama-sama beranjak dari titik start menuju garis finish. Itu sebabnya non-incumbent perlu rapi dalam melakukan kampanye, menyebarkan isu dan melakukan penetrasi menarik dukungan pemilih. Cermat membaca isu dan peluang, tidak beruntuk bagi petahana kalau hanya mendaurulang, melakukan plagiat terhadap program-program sebelumnya.
Harus ada langkah atau program progresif yang dirancang. Lalu diajukan kepada masyarakat secara intensif. Metode kampanye ke masyarakat juga perlu dikaji, agar tidak membuang-buang waktu, tidak salah sasaran dan merugikan non-petahana itu sendiri. Penyebaran, intensitas dan kekuatan gempur menjadi penting dalam upaya meraih kemenangan di Pilkada. Dari konteks itu, maka hitung-hitungan non-petahana tak boleh kalah cepat.
Ada ruang, peluang dan pandai pula menciptakan momentum agar apa yang diperjuangkan sebagai visi politik pembangunan dapat diketahui masyarakat. Untuk urusan penanganan COVID-19 juga perlu menjadi perhatian non-incumbent agar digarap. Artinya, sepanjang darurat kesehatan di Indonesia yang juga melanda masyarakat di daerah-daerah, sudah sejauhmana pemerintah daerah bekerja membantu masyarakat?. Komitmen sang incumbent membenahi kesejahteraan masyarakat, tidak menyusahkan ekonomi masyarakat telah dijalankan ataukah malah menambah-nambah beban masyarakat.
Memecah-belah atau mengusut skema nakal demi menang di Pilkada 2020 perlu ragam cara. Terserah mau buat spionase, lepas para tukang gempur, peluncur, penyapu ranjau, negosiator politik, eksekutor ataukah memberi tugas intelijen kepada agen yang mengerti cara kerja dan operasi-operasi rahasia. Sasarannya adalah melakukan antisipasi dini, mengawasi dengan ketat agar praktek curang tidak dilakukan incumbent.
Melacak kekuatan petahana sebetulnya mereka bertumpu pada basis kerjanya, dan bangga pada kekuasaan yang dikelola. Melayani masyarakat dengan kerja nyata itu yang akan dinilai konstituen nantinya. Selebihnya, dari sisi dukungan masyarakat kebanyakannya bersifat kamuflase. Hal itu tentu dimengerti incumbent, karena mereka sadar akan kemampuan kerjanya berkontribusi atau menjadi budak bagi masyarakat. Bagi mereka yang tidak maksimal menjadi pelayan, otomatis galau ketika Pilkada dilaksanakan. Menekan, membujuk dan melakukan tawar-menawar kepentingan menjadi jalan bagi mereka berselancar untuk bagaimana memperhatankan kekuasannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H