Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politik Keumatan dan Sesat Pikir Politisi

31 Juli 2020   12:11 Diperbarui: 1 Agustus 2020   08:27 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karikatur, Bung Amas (Dokpri)

Keumatan menjadi topik hangat yang tak pernah usang dalam hajatan rebutan kepentingan di pentas politik. Umat yang disadur dari bahasa Arab ini memiliki arti masyarakat atau bangsa. Namun kian hari, nada dan tafsir umat menjadi menyusut, merosot maknanya. Dikapitalisasi dan dikapling dalam tafsiran yang tendensius, parsial. Hasilnya, seperti di Kota Manado pernah ada upaya membentuk Koalisi Keumatan untuk momentum Pilkada Serentak 2020.

Tafsir tunggal dalam politiklah yang memancing munculnya debat. Sebetulnya politik tak tepat ditafsir secara terbatas, kemudian melahirkan pembenaran-pembenaran sepihak. Sebab hal itu kadang kala menjadi embrio tumbuhnya pemikiran politik sesat menghancurkan peradaban politik. Mengaku dan merasa dominan, lalu sewenang-wenang terhadap yang lain, inilah setumpuk ketimpangan demokrasi yang perlu diluruskan.

Umat yang utuh, akhirnya menjadi lumat. Menjadi lumat berarti tercerai-beraikan, halus tidak konsolidasi lagi menjadi integral. Sepeti itulah bencananya kalau agenda keumatan ditafsir para pemburu kekuasaan yang doyan rebut, amankan kepentingannya masing-masing. Sulit terkonstruksi dengan baik dan tertib, selama umat diposisikan sebagai barang rebutan semata. Setelah direbut, dimanfaatkan, lalu kemudian cenderung diabaikan.

Seperti 'abis manis sepah dibuang', begitulah kira-kira umat dieksploitasi. Padahal martabat dan marwah keumatan bukan saja serendah itu. Umat itu bersifat universal maknanya, tidak terbatas disaat momentum politik. Melainkan untuk kepentingan-kepentingan persatuan, kerja, soliditas, kemajuan dan kebersamaan demi kepentingan yang lebih besar. Kelemahan lain dari tema keumatan 'mati muda', atau sekedar dijadikan alat, karena niat baik memberi diri untuk keumatan itu masih minim. Kita lebih banyak meminta daripada memberi kontribusi ke umat.

Bias tafsir terhadap persatuan keumatan juga sering disesatkan dengan politik identitas yang menghasut, memecah-belah kepentingan konsolidasi kebangsaan yang majemuk. Sesat pikir sebetulnya itu. Karena kalau mau jujur, di semua pemeluk agama kita punya nilai prinsipil, keyakinan yang tidak bisa digadaikan atau ditukar-tambahkan lagi dan itu bersifat final. Tapi soal keumatan, menggairahkan semangat keumatan bukan hal yang salah.

Karena persatuan besar, diawali dari persatuan-persatuan yang kecil. Dari titik temu ide itulah, melahirkan Negara Kesatuan Republik Indonesia, artinya melalui membangkitkan sentiment positif keagamaan tidak berkontradiksi dengan semangat membangun persatuan nasional. Jangan alergi dengan sebutan persatuan umat. Itu soal istilah saja, umat sama dengan rakyat. Kadang benturan atau perbedaan pandangan juga tidak datang dari luar, dari dala umat Islam sendiri yang begitu kencang penolakan-penolakan akibat gesekan kepentingan yang tidak satu.

 Pentingnya Politik Keumatan

Menjadi penting karena yang didahulukan dalam perjuangan politik ini adalah kepentingan umat. Bukan orang perorang, disitulah letak kekuaannya. Sehingga menjadi begitu istimewa perjuangan menyukseskan kepentingan umat seperti yang dimaksud dapat dilakoni secara berjamaah. Politik keumatan itu berbasis nilai, bukan personal, gerbong tertentu atau institusional kelembagaan. Ya, letaknya ada pada nilai (value) universalitas, perjuangan demi dan atas nama kemanusiaan.

Umat yang tidak terkendalikan oleh kepentingan kotor, saling menjatuhkan atau menghalalkan segala cara untuk menang. Bukan seperti itu semangat merebut kepentingan keumatan dijalankan, tak boleh cara jahat dan amoral. Jika ditelusuri, kepentingan umat dalam politik adalah tentang keadilan, kesejahteraan, persamaan hak, persatuan, rasa aman, kebebasan beragama dan akses terhadap publik yang setara dengan manusia lainnya.

Mewujudkan kepentingan politik umat harus didasari atas hal-hal yang ideal dan realistis. Seperti kerinduan sekaligus harapan menjadi manusia unggul yang titik tolaknya dari kemauan memantapkan diri, secara individual lalu diperluas menjadi keunggulan sosial. Jadi manusia-manusia yang dipotretkan dalam praktek politik keumatan yakni mereka yang telah tuntas dari dirinya sendiri. Sehingga betul-betul mapan, matang dan mandiri, tidak lagi bergantung pada pihak lain.

Figur itu yang juga dapat diistilahkan sebagai insan cita. Mereka yang dicita-citakan atau digambarkan sebagai teladan umat. Nah, dalam seleksi kepemimpinan daerah di Kota Manado bagaimana mau terwujud kalau persatuan saja belum mampu digalakkan. Kesadaran bersama belum dikuatkan. Akhirnya seperti mimpi dan lelucon dalam dunia nyata politik, bicara persatuan keumatan tapi kesadaran, hati dan pikirannya tidak mau menyatu.

Masing-masing kita yang ngakunya 'umat' tidak tuntas dengan dirinya sendiri. Masih saling curiga dan buruk sangka. Jadinya makin jauh cita-cita keumatan itu direalisasikan. Harus saling iklas juga untuk melahirkan kepemimpinan yang benar-benar kita percaya mampu memperjuangkan kepentingan umat. Menjadi mediator, pemberi solusi dan bersama umat jika masih ada umat yang kesulitan secara ekonomi, seperti penggalan kisah Sayyidina Umar bin Khattab yang siap dan rela kelaparan jika rakyatnya masih ada yang lapar. Makan belakangan, disaat rakyatnya sedang berpesta makan dan tidak kelaparan lagi. Begitulah yang kita rindukan.

Minimal tak sampau total seperti Umar, mendekatinya juga sudah cukup di era modern saat ini. Mirisnya yang ada begitu samar-samar kita melihatnya pemimpin idaman seperti itu hari ini ada di Kota Manado. Dan harus tuntas dalam pikiran kita bahwa yang lebih mudah adalah kita menyatu karena dorongan gagasan besar persatuan. Tidak atas dorongan kepentingan sesaat, apalagi hanya ajakan-ajakan figur yang sebetulnya adalah figura saja. Walau pun saat ini masih ada figur umat di Kota Manado masih dapat diteladani ucapan dan perubatannya.

Meski begitu tetap gagasan menjadi elemen penting untuk menyatukan kita. Karena ketokohan seseorang itu karena kuatnya gagasan yang diperjuangkannya, bukan omong-kosong semata. Betapa tak ada nilainya lagi bila seorang yang mengaku tokoh tapi tampil tanpa ada ide atau gagasan yang menyatukan. Gagasanlah yang menjadi titik temu, jembatan pemersatu umat. Sehingga suatu kelak, bisa saja umat kehilangan tokoh karena tak Allah menjemput, kita masih diwariskan gagasan tokoh yang luhur dan agung. Rohnya tidak akan hilang, masih bisa kita amalkan dari generasi ke generasi.

 Saking urgennya politik keumatan, para Nabi dan Rasul telah mengajarkan kita dalam sejarah yang kita baca. Bahwa bagaimana pun kuatnya perubahan dari akar rumput kalau tidak ditopang perubahan dari level kekuasaan, maka akan rapuh. Tidak berjalan dengan baik. Itu sebabnya, politik keumatan menjadi kata kuncinya. Umat harus mengambil ruang kekuasaan untuk mengabdikan diri, berbuat bagi banyak orang dan mewujudkan, mempelopori perubahan yang maju. Hanya dengan itu kepemimpinan menjadi bermanfaat.     

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun