Akhirnya penghargaan atas hak, kewilayahan otoritas menjadi tidak sama sekali ditaruh pada posisi yang terhormat. Pengurus partai di daerah misalnya merekomendasikan nama lain, tapi DPP (Dewan Pimpinan Pusat) bisa saja menggantinya dengan nama yang lain. Atau paling tidak diperintahkan untuk perubahan usulan nama-nama, pembetulan dan sebagainya tujuannya untuk meloloskan kemauan pusat (DPP).
Jadi sekuat-kuatnya aturan parpol yang digunakan, tetap ada cela untuk diubah elit parpol di pusat. Terkait Gibran ini mudah sekali dilacak, kalau bukan Gibran melawan kotak kosong saat Pilkada 9 Desember 2020, berarti anak muda ini akan melawan calon bunake yang dipasang. Gibran akan leluasa menentukan siapa lawannya di Pilwako Solo. Betapa tidak, Bapaknya punya akses terhadap hal itu. Begitu rakusnya kekuasaan di republik ini diambil dan dibagi-bagikan para pengusaha kepada keluarga-keluarga mereka. Ironis.
Ketika ada pendapat publik yang mencuat melalui demonstrasi atau postingan di media sosial, keluarga Gibran gampang saja memberikan bantahan. Kamuflase itu disusun rapi, bila perlu kalau ada ahli atau konsultan yang hebat mereka pakai untuk digaji demi melawan opini yang berkembang. Seperti itulah keuntungannya Gibran, dia anak orang nomor satu di Indonesia. Pilwako Solo menjadi kesempatan emas bagi dirinya, sekaligus sebagai kuburan dalam membangun karir politiknya.
Kalau saja Gibran bersabar sejenak. Setelah Bapaknya selesai menjadi Presiden, barulah ia bertarung menjadi Kepala Daerah itu lebih sehat dan bermanfaat bagi dirinya. Reputasi Bapaknya akan terlindungi, selamat dalam derasnya tuduhan kolusi, politik dinasti dan dominasi oligarki kekuasaan pemerintah maupun oligarki politik. Masyarakat rasional pasti mengerti, kemudian mengatakan Gibran 'memanfaatkan situasi'.
Mumpung Bapaknya masih jadi Presiden, makanya ia harus cepat-cepat menjadi Wali Kota Solo. Sungguh ini sangat tidak produktif dalam memajukan demokrasi.Â
Dari sisi regenerasi kepemimpinan Gibran juga 'membunuh' dan melewati banyak politisi senior yang sebetulnya punya giliran memimpin Kota Solo. Pupuslah harapan dari kesempatan yang mereka tunggu-tunggu. Sudah dapat diprediksi kalau Gibran maju di Pilwako Solo, dialah pemenangnya.
Jadi sketsa menangnya Gibran sudah dapat diukur dari pembentukan koalisi, gonjang-ganjing parpol yang mengusungnya dan yang berencana mengusung rivalnya. Belum bertandingpun Gibran sudah menang di Pilwako Solo. Argumen Gibran tentang proses yang dilaluinya benar, tak ada jumping yang menabrak aturan, tak ada intervensi, itu hanyalah kamuflase politik. Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H