SIAPA yang diuntungkan bila Head to Head (H2H) atau berhadap hadapan seperti pertandingan bola kaki yang bertemu dua kutub, antara politisi 'stok lama' dan 'pendatang baru'?. Kalau disimplifikasi, yang stok lama, bukan yang telah ujur tapi yang 'senior' tentu staminanya menurun. Tidak joss lagi, tidak energik lagi sperti politisi pendatang baru (junior).
Meski tidak semua, kekuatan dan energi dalam politik bukan dilihat dari aspek gesitnya bicara atau kerasnya suara. Melainkan, genjar dan agresifnya mobilitas di lapangan. Ya, di ladang politik tentunya yang akan menjadi ukuran. Ada politisi 'stok lama' yang masih eksis, mampu merelevansikan kepentingannya di lapangan.
Lebih pentingnya lagi, mereka punya stok sumber daya yang cukup. Ditopang pengalaman (rekam jejak) yang mantap. Bagi politisi 'stok lama' yang kelam masa lalu dalam politik, tentu berbeda lagi tantangannya. Kita amati dan bandingkan politisi stok lama yang moralitas dan modal sosialnya bagus, dengan pendatang baru yang punya energi cukup tapi minus pengalaman.
Hasilnya pasti berbeda pula. Keduanya ada pembedaan, lebih dan kurangnya masing-masing mempunyai sisi itu. Kalau di kompetisikan, politisi stok lama dan pendatang baru rasanya relatif kekuatannya. Soal pelung menang, memang dua-duanya punya peluang yang sama dalam pentas politik. Karena politik juga mengukur soal kekuatan 'bertahan hidup' atau konsistensi sekaligus daya juang.
Kalau diminta saya ambil posisi, memilih diantaranya. Tentu saya memilih politisi pendatang baru. Dengan sepenggal alasan, bahwa kita mendorong regenerasi politik. Politisi stok lama tetap menjadi mentor, menggembleng dan menuntut para politisi pendatang baru agar menjaga 'keistimewaannya' sebagai politisi.
Jangan mengabaikan kedaulatan dan trust masyarakat. Jangan membarter moralitas dengan materi yang pada akhirnya membunuh masa depan masyarakat banyak. Kenapa harus politisi pendatang baru?. Kita belum pikun menyimak roda sejarah yang terus berputar. Artinya, ketika satu generasi terus bercokol memasang 'kuda-kuda', menjalarkan akarnya sehingga tidak pernah 'tumbang', maka generasi berikutnya akan menjadi tumbal.
Tidak mudah memang memaklumi hal ini. Kaderisasi dalam ranah politik itu penting, dalam rangka menyeleksi 'penumpang gelap' dalam proses demokrasi, maka partai dan elemen organisasi yang mendidik para politisi sehingga menjadi pemimpin yang unggul harus dihidupkan. Kelembagaan tersebut harus bersahabat, menunjang proses kaderisasi sehingga dapat terarah dengan baik.
Tantangan kita saat ini adalah nafas regenerasi itu masih tersumbat. Sebagian besar politisi stok lama tidak rela memberi kesempatan pada politisi pendatang baru untuk berkiprah atau mengganti posisi mereka. Disinilah titik balik kehancuran demokrasi mendapat tempatnya. Saling jegal, sabotase dan menghambat dilakukan sesama politisi. Politsi stok lama memperlihatkan kemampuan jejaringnya, ya sudah pasti politisi pendatang baru akan kalah.
Sebetulnya sederhana saja yang dibutuhkan yaitu saling legowo. Harus ada pihak yang saling ikhlas memberi kesempatan, biasanya yang 'senior' yang harus mengerti posisinya, yang lebih bijaksana. Problem di panggung politik kita adalah tidak saling legowo. sSemua merasa paling layak dan pantas. Akhirnya, ego-ego personal ditanamkan.
Tumbuhlah sekat dan bahkan beton (tembok) yang melahirkan disparitas. Politisi stok lama merasa paling berpengalaman, memandang remeh politisi pendatang baru. Balasan dari politisi pendatang baru pun juga ada, mereka yang biasa pamer kekuatan menunjukkan progresifitasnya. Terus menebar perlawanan, menghidupkan sentimen. Tidak ketemu, dan seterusnya mencari cela untuk saling menjatuhkan.
Benturan kepentingan makin tumbuh subur. Tidak saling redam, tidak saling ikhlas dalam melakukan rekonsiliasi. Yang ada hanya pertemuan canda-candaan yang masing-masing pihak saling menyimpan 'dendam'. Bagaimana nasib demokrasi kita kalau elemen masyarakat tidak seiring-sejalan? Sulit juga rasanya keutuhan demokrasi tumbuh.
Begitu pula dengan batasan dalam ruang gerak berpolitik. Kebanyakan kita terjebak dengan pandangan parsial tentang semangat dan kepercayaan diri masing-masing dalam berpolitik. Resikonya politisi tidak saja berbeda mentode perjuangan, melainkan berbeda tujuan pula. Kalaulah perbedaan itu hanya sekedar perbedaan metode berjuang, itu hal lumrah dalam demokrasi. Tidak keluar dari rute berbeda orientasi tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H