Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Presiden Jokowi dan Pembodohan Pendidikan

14 Juli 2020   07:28 Diperbarui: 14 Juli 2020   19:16 988
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para siswa ceria saat sekolah (Foto anteroaceh.com)

Begitu menggelisahkan kalau kita mengikuti perkembangan, naik turunnya angka para korban penularan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) di Indonesia. Yang memiriskan lagi kebijakan pemerintah yang meliburkan sekolah dan lembaga Perguruan Tinggi (PT). Presiden Jokowi, melalui Menterinya seolah pasrah pada COVID-19.

Situasi yang berulang-ulang membuat orang tua wali murid mengeluh. Mereka cemas akan masa depan anak-anaknya. Karena sekolah dengan sistem belajar dan perkuliahan media daring (virtual) tidaklah efektif. Waktu bermain anak-anak di rumah lebih banyak. Bimbingan belajar juga nyaris mati, tak lagi aktif seperti sedia kala.

Rancunya para siswa diliburkan sampai Bulan Desember 2020. Sementara Pilkada sudah mulai tahapannya. Kenapa peran pendidikan formal begitu diabaikan di era ini? Sedangkan hajatan politik diutamakan. Apakah tak ada solusi cerdas lainnya berupa penjadwalan waktu siswa untuk bersekolah secara bergulir?

Kalau hanya menghindari kerumunan berjubelnya siswa di kelas, itu hal teknis yang gampang diatur. Jangan buat jebakan bagi siswa seperti saat ini, meliburkan mereka dengan alasa sekolah dari rumah. 

Coba diperiksa, berapa banyak siswa yang dapat diawasi pihak sekolah saat belajar dari rumah? Lantas apakah pihak sekolah menunjang atau memberi fasilitas kepada para siswa yang belajar dari rumah? Ini mengecewakan.

Sejumlah orang tua siswa berkeluh kesah soal ini. Mereka merindukan siswanya untuk sekolah. Mestinya pemerintah dan stakeholder pendidikan merumuskan hal teknis terkait belajar mengajar di sekolah dengan standar protokol COVID-19. KPU, Bawaslu, DPR, Mendagri dan DKPP saja mampu membuat standar 'Pilkada berwajah pandemi', kenapa untuk keberlanjutan pendidikan hal itu tidak dilakukan.

Siswa atau mahasiswa dapat diberikan kesempatan bergilir masuk sekolah dan kampus. Jangan diliburkan secara massal, sebab hal itu seperti pembodohan terstrukur yang dilakukan pemerintah. Pemerintah berkewajiban menggagas sistem belajar di sekolah yang menghindarkan siswa dan guru dari ancaman penularan COVID-19. Konsekuensinya sekolah harus terus eksis. Jangan dibuat penutupan sekolah serentak.

Apalagi pemerintah kita belum bersedia, belum mampu menawarkan solusi tentang. Stay at home bukanlah jalan keluar dalam mengembangkan kompetensi siswa. Sekolah juga telah gagal menyuplai stamina belajar bagi para siswanya yang berada di rumah masing-masing. Memiriskan lagi ketika kondisi masyarakat yang berada di wilayah terisolir, mereka yang belum terakses internet. Mereka yang juga belum mampu membeli Handphone canggih.

Seharusnya sekolah dapat membekali pengetahuan yang cukup kepada siswanya. COVID-19 malah membuat komponen penggerak pendidikan kita menjadi hilang akal sehatnya dan meliburkan siswa. Secara berkala para siswa diliburkan, begitu anehnya pelaksanaan Pilkada Serentak dilaksanakan. 

Kalau soal pembatasan kuantitas masyarakat yang berkumpul, di sekolah para siswa dan guru-gurunya dapat mengatur hal tersebut. Idealnya ada keadilan di sini. Penyelenggara Pilkada dan para pengawasnya kini tengah menjalankan tahapan Pilkada, ironisnya sekolah diliburkan.

Potret kebijakan yang tidak adil. Presiden Jokowi segeralah bangkan melahirkan konsep pendidikan berbasis protab COVID-19. Skedul yang biasa dibuat pihak sekolah, di era pandemi ini sebetulnya dapat dilakukan. Kenapa pemerintah begitu tidak berpihak pada sektor pendidikan? Jajaran pemerintah harus mengendorkan sedikit perhatiannya hanya pada kepentingan politik, ayo bangun lembaga pendidikan kita.

Presiden Jokowi akan dikenang ketika mampu menjawab tantangan saat ini. Utamanya di saat pandemi beliau mampu mempertahankan kehidupan dan nafas pendidikan formal. Kurang elok ketika Presiden 'menutup' sekolah lalu memindahkan proses belajar dari rumah. Mari kita berpikir matang, mantap dan dengan nalar sehat, bagaimana bisa Pilkada dilaksanakan, tapi siswa sekolahnya diliburkan. Begitu tidak mencerminkan keadilan.

Alhasil publik bisa menyimpulkan sepihak bahwa Presiden Jokowi lebih berpihak kepada kepentingan politik. Beliau abai dan menutup mata terhadap keberlanjutan pendidikan. 

Publik tentu berharap sebelum pandemi usai Jokowi dapat merubah sistem belajar di rumah tersebut. Pihak sekolah boleh melakukan simulasi terkait berapa jumlah siswa di kelasnya. Contohnya saja, bila satu kelas 25 siswa, maka mereka dapat dibagi menjadi berapa tim belajar. Sekolah secara bergilir dan memapai Alat Pelindung Diri (APD) tentunya.

Pengaruh keunikan itu tergambarkan dalam Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) yang saat ini dilakukan pihak sekolah. Program pengenalan akhirnya dilakukan melalui media daring, para guru-guru masih enggan memberi kesempatan ke siswa bersekolah. 

Ini juga karena pemerintah secara nasional 'melarang' sekolah dibuka seperti biasa. Dampaknya apa? tentu MPLS tidak berjalan efektif. System pengenalan siswa baru tidak menghasilkan hal yang menggembirakan siswa dan guru.  

Kita akan menantikan perubahan apa yang akan terjadi tahun 2021 nantinya. Bila sekolah-sekolah terus ditutup sampai Desember 2020. 

Ini bencana kemanusiaan yang serius mengancam keberadaan lembaga pendidikan kita di Indonesia. Akan berkelanjutan ketika sekolah diliburkan sampai akhir tahun ini, peristiwa dimana sistem pendidikan takluk pada COVID-19 memberi gambaran betapa lemahnya pemerintah kita. Padahal Kegiatan Belajar Mengajar (KMB) bisa diatur sesuai protokol kesehatan COVID-19.

Bila kita mengutip pandangan Paulo Freire, seorang tokoh pendidikan dunia Brasil dan teoritikus pendidikan yang berpengaruh di dunia menyebutkan pendidikan sebagai alat yang membebaskan manusia dari berbagai bentuk penindasan dan ketertindasan. Atau secara sederhana disebut usaha memanusiakan manusia. 

Konteks keindonesiaan di tengah pandemi, sepertinya melahirkan logika terbalik dari gagasan yang disajikan Paulo Freire. Kini pendidikan seolah diperalat, bukan menjadi alat yang mengeluarkan masyarakat dari sistem kolonialisme.

Berarti nilai dan manfaat pendidikan yang universal itu kini seperti tergadaikan. COVID-19 menghantam semua program pemerintah di bidang pendidikan. Paulo Freire juga pernah menyebutkan panggilan manusia sejati adalah menjadi pelaku yang sadar, yang bertindak mengatasi dunia serta realitas yang menindas atau mungkin penindasnya. 

Mata rantai pembodohan tersistematis yang kemungkinan diselipkan dalam bencana kesehatan COVID-19. Pandemi menjadi wajah seram turut melanggengkan penindasan dalam lembaga pendidikan kita.

Pendidikan kita harus dibangun dengan kesadaran konstruktif. Kepentingan menopang pembangunan di bidang pendidikan perlu diseriusi pemerintah. Berhentilah memposisikan pendidikan dalam porsi kecil, atau menjadi bagian kedua dan ketiga dalam skala prioritas pembangunan nasional. 

Presiden Jokowi perlu menjadi kapten yang kokoh pendiriannya dan peduli terhadap pendidikan, jangan lagi ada kesan main-main mengurus pendidikan kita. Sudah saatnya siswa di sekolahkan, mahasiswa di kuliahkan di sekolah dan kampus, bukan lagi di rumah.

Berfikirlah tentang keceriaan anak-anak kita. Mereka mulai lelah berada di rumah dengan belajar tanpa pengawasan ketat guru-gurunya. Kejenuhan mereka tersebut jangan dipandang sebelah mata. Mereka menjadi rindu situasi sekolah, mereka rindu bermain bersama dan belajar berbarengan dengan teman-temannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun