Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Ujian Demokrasi dan Petaka Pilkada

10 Juli 2020   06:28 Diperbarui: 13 Juli 2020   18:18 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Demokrasi di gerbang disintegrasi (Foto Fahri)

"Perang finansial dan modal akan bermain di Pilkada darurat ini. Bagi petahana, mereka akan memanfaatkan bantuan sosial dari pemerintah untuk dipolitisasi. Dimainkan seolah-olah seperti pemberian dirinya sendiri, padahal dari masyarakat pula bantuan itu." 

Tidak mudah pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di tengah gelombang Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). Dimana pandemi ini mengubah status kondusifitas Indonesia menjadi darurat kesehatan. Masyarakat masuk pada era bencana non-alam, sehingga hampir semua rutinitas sosial masyarakat terinterupsi sejenak. 

Pemerintah mengajak masyarakat untuk menjauh dari hiruk-pikuk kerumunan, terapkan social distancing. Atau yang santer disebut pula physical distancing, stay at home, work from home, semua itu rangkaian ikhtiar yang dibuat pemerintah agar masyarakat terhindar dari penularan Covid-19. Di lain sisi di tengah kedaruratan kesehatan itu, petaka, bencana (disaster) mengintai kenyamanan masyarakat, Pilkada tetap jalan.

Upaya itu seperti terdisrupsi dengan adanya pelaksanaan Pilkada 9 Desember 2020. Tidak main-main 'Pilkada darurat' dilaksanakan dengan mengacu pada Perpu Nomor 2 Tahun 2020 dan berpedoman terhadap Surat Edaran Nomor 20 Tahun 2020 tentang Pilkada Serentak Lanjutan dalam kondisi bencana non-alam. Secara eksplisit dijelaskan situasi kedaruratan menjadi faktor distingsi Pilkada kali ini dengan Pilkada-Pilkada sebelumnya.

Ada disparitas yang jelas dan tegas. Bahwa Pilkada abnormal ini tidak memberikan keleluasaan kepada masyarakat untuk terlibat dalam semua tahapan Pilkada secara langsung dan "sesuka hati". 

Pengawasannya pun begitu, dibatasi. Publik yang mau memastikan kebebasan demokrasinya agar tidak direkayasa dan diubah, diatur secara representatif.

Seperti harus beberapa orang saja yang mewakili yang lain, kalau sudah begitu, mestinya Pilkada dilakukan dengan sistem Anggota DPRD memilih Kepala Daerah agar tidak setengah hati kita menerapkan sistem perwakilan.

Seolah-olah wajah demokrasi kita pada fase pandemi mengalami kemandulan yang serius. Diantara semangat masyarakat untuk berpartisipasi dalam hajatan demokrasi dan realitas abnormal, menjadi saling bertentangan. Bertolak belakang, partisipasi politik diberi takaran tertentu.

Seperti disparitas demokrasi, padahal praktek semacam ini mendestruksi demokrasi. Penyelenggara Pilkada seperti KPU yang meminta dana untuk pembelian Alat Pelindung Diri (APD) juga menjadi barang unik. Pilkada 'bermasker' yang bisa segala kepentingan jahat diselundupkan disana.

Masyarakat kita berdemokrasi dengan ditentukan jarak tertentu. Kuantitas dan jarak sosial malah menjadi garapan para penyelenggara Pilkada, yang sesungguhnya terbalik dari sebelum-sebelumnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun