Apalagi ketika KPU memperbolehkan kampanye langsung sebagaimana disampaikan Arief Budiman selaku Ketua. Makin fatal kita dalam berdemokrasi saat pandemi, penyelenggara Pilkada seperti tak mampu mengendalikan situasi. Dalam segmen lain, KPU dalam sosialisasi lebih mengandalkan media daring (virtual).
Pendekatan ini sebetulnya tidak efektif, tidak tepat dan tidak taktis ketika disesuaikan dengan kultur berdemokrasi kita kebanyakan. Berapa banyak rakyat di daerah yang mengakses internet (teknologi)?. Masih sedikit persentasenya. Sebanyak apa segmen sosialisasi model virtual menyentuh rakyat?. Keperluan rakyat (konstituen) untuk diedukasi begitu banyak, jangan tebang pilih dan diskriminasi.
Pilkada saat pandemi bagai bedemokrasi di rumah hantu, sunyi, mencekam, memancing rasa cemas. Rakyat terutama, penyelenggara Pilkada dan pengawas tentu berhati-hati. Begitu pula parpol serta pemerintah harus sama-sama saling mengingatkan agar patuh terhadap protokol kesehatan Covid-19. Tentu rencana-rencana strategis yang disusun juga tak semua akan berjalan dengan baik dan tertib. Biasanya ada bias, ketidakmaksimalan dalam praktek.
Posisi rakyat akhirnya menjadi dilematis. Diantara mengikuti anjutan social distancing dan menunjukkan partisipasi politik adalah dua hal yang secara sosial sangat bertolak belakang. Situasi itu membuat rakyat mengambang, terombang-ambing di tengah pandemi. Mereka gusar, berdemokrasi dengan kewaspadaan.
Sehingga pada rutinitas tertentu rakyat akan sampai pada titik jenuh. Mereka kerepotam dalam mencari teladan kepemimpinam. Gugus Tugas Covid-19 mengarahkan jalankan protap kesehatan. Penyelenggara Pilkada meski memerintahkan tetap hidup sehat dan ikut anjuan tenaga medis, tapi menargetkan Pilkada harus jalan dengan baik dan berkualitas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H