Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Selamatkan Kaum "Mustadh'afin", Pemerintah Jangan Bakhil

17 Mei 2020   15:24 Diperbarui: 17 Mei 2020   16:41 496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kemiskinan merajalela, ilustrasi (Dok Arah jatim)

Konsep mustadh'afin merupakan sebuah seruan moral untuk membela kaum lemah terpinggirkan. Kita diminta membela mereka yang dilemahkan, dan umumnya relasi antara kaum mustadh'afin dihiasi dengan praktek ketidakadilan. Semestinya Negara berperan mensinergikan programnya dengan komponen masyarakat, tanpa distingsi.Realitas ketimpangan pembangunan dan kebijakan yang tidak pro pada kaum mustadh'afin juga masih terjadi di Indonesia.

Jika kita periksa, pemerintah dalam kebijakannya pemberdayaan diarahkan lebih pada orientasi proyek. Bau amis korupsi dan kolusi masih ada. Menyengat hidup kita, terutama kaum yang dimarginalkan akibat kebijakan pemerintah.

Mereka komunitas masyarakat yang didiskriminasi atas nama kekuasaan. Bukan kebijakan pemerintah tidak mampu menjangkau mereka, melainkan sengaja dibuatkan begitu. Mereka masyarakat yang tidak mampu (miskin), bukan secara alamiah miskin, tapi karena Negara telah memiskinkan mereka. Melalui kebijakan Negara kaum mustadh'afin diabaikan.

Dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Pasal 28 Ayat 1 sampai 3, jelas diterangkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Selanjutnya, setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.

Amat sedih, perintah konstitusi Negara itu sekedar menjadi hal formalitas. Pemerintah masih basa-basi dengan itu semua, alhasil penerapannya masih tak menjangkau kaum mustadh'afin. Pada Ayat 3, Pasal 28 UUD 1945 menerangkan soal setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat. Secara tekstual regulasi kita rinci menjelaskan, namun di lapangan malah tidak terjadi demikian.

Kemudian Pasal 34 dalam UUD 1945, Ayat 1 juga memerintahkan agar fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara. Ayat 3 dalam Pasal tersebut juga dijelaskan bahwa Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Anehnya, saat ini Presiden menaikkan lagi iuran Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

Pemerintah seolah-olah lemah dalam memproteksi kebijakannya. Ini sangat tidak rasional, sebab pemerintah memiliki alat untuk mengawasi semua kebijakannya itu. Pemerintah (Presiden), dibantu para Menteri, bahkan sampai Gubernur di daerah. Bukan main kekuatannya, kemampuan mengintervensi dan mempressure ada pada pemerintah.

Berarti letak kekeliruannya dimana?, tentu pada political will pemerintah. Sebaiknya Presiden mengoreksi total alur pelayanan publik, memastikan kalau kaum mustadh'afin terakomodir dalam kebijakan pemberdayaan pemerintah. Perintah UUD 1945 harus dijalankan pemerintah. Kemajuan politik dari Negara (political will state) lebih maksimal lagi ditunjukkan.

Pemerintah sejatinya berpihak ke rakyat kecil. Bukan berpihak kepada kaum pemodal. Masyarakat politik (political society) terbangun kesadarannya, manakala pemerintah memperlihatkan keberpihakan pro rakyat.

Teristimewa pro pada rakyat miskin, mereka anak-anak terlantar wajib diayomi Negara. Faktanya, sampai saat ini masih banyak rakyat Indonesia tinggal di emperan-emperan rumah. Dibawah kolong jembatan, tidur beralaskan kardus, lalu Negara seperti tutup mata atas hal itu.

Menengok Badan Pusat Statistik (BPS), tahun 2019, jumlah penduduk miskin di Indonesia 24,79 juta. Ini bukan angka yang main-main, rakyat kesusahan, kemudian para elit kita masih melakukan korupsi. Penanganan atau pemberantasan korupsi pun, dinilai tebang pilih. Sungguh jurang ketidakadilan makin terbuka lebar.

Kapan pemerintah Indonesia betul-betul serius menanggulangi nasib kaum mustadh'afin? Mereka juga berkeinginan hidup berkecukupan, hidup senang dan bahagia. Negara jangan lepas tangan, perlunya Negara hadir dengan membawa solusi yang tepat. Mereka yang terpinggirkan itu rata-rata berpendidikan rendahan, karena tak berkecukupan ekonomi, bahkan sebagian mereka tak sempat merasakan bangku sekolah formal.

Presiden Jokowi di periode keduanya ini, jangan terlalu sibuk dengan pindah Ibu Kota Negara. Rakyat kecil mengharapkan anda fokus membanahi kesejahteraan mereka. Sekiranya, hal itu yang lebih mendesak. Kemiskinan harus diberantas, bukan didiamkan, lantas berharap rakyat secara mandiri bangkit. Betapa curang dan tidak punya nurani, jika pemerintah memelihara mindset itu.

Selamatkan kaum mustadh'afin agar mereka juga dihormati dan hidup mulia. Jangan membangun pemahaman bahwa semua kemiskinan rakyat terjadi karena ulah rakyat sendiri. Betapa terbatasnya, kalau pemerintah berkesimpulan begitu. Tingkatkanlah taraf ekonomi rakyat. Jangan malah melahirkan lagi kejahatan structural. Yang atas kebijakan itu berimbas pada makin merosotnya kehidupan rakyat.

Memberantas kemiskinan di tengah rakyat, bukan berharap mereka segera mati. Dibiarkan kelaparan, setelahnya rakyat mencuri atau melakukan criminal untuk mempertahankan hidup, kemudian pemerintah melalui aparatnya menindak mereka secara hukum. Berarti pemerintah bisa dikatakan kehilangan ide pembangunan. Membunuh rakyat secara berlahan.

Semestinya, pemerintah melahirkan program yang mensejahterakan rakyat. Bagaimana melahirkan formulasi kebijakan yang efektif, sehingga rakyat miskin, terpinggirkan bisa diberdayakan. Rakyat kita juga tahu, bahwa kekayaan alam kita di Indonesia tidaklah sedikit. Jangan pemerintah kikir (bakhil) pada rakyat sendiri.  

Kesan yang terbaca ke publik, pemerintah kita begitu masa bodoh melihat rakyat miskin. Para peminta-minta, rakyat yang perlu dan sangat perlu untuk dibantu. Sederhana kita mengecek kenapa praktek pencurian, perampokan dan penipuan sering kita temui di layar-layar kaca Televisi, alasan paling umum karena mereka kelaparan. Karena dasarnya kita orang Indonesia bukan bermental pencuri.

Pemerintah cepatlah hadir beri solusi agar kekerasan tersebut tidak ada lagi. Dari data Kompas.com, 22 April 2019 gelandangan dan pengemis (Gepeng) di Indonesia diperkirakan berjumlah 77.500 tersebar di Kota-Kota Besar. Di era Corona Virus (Covid-19) populasi rakyat miskin akan meningkat. Itu menandakan jumlah Gepeng atau kaum mustadh'afin bertambah. Pemerintah makin dihadapkan dengan tugas yang maha mulia. Jangan dijadikan sebagai beban pemerintah.

Sebagai renungan, diakhir tulisan ini saya mengutip Firman Allah SWT, dalam Al-ur'an Surat Ar-Ra'd : 22 yang artinya, dan orang yang sabar karena mengharap keridaan Tuhannya, melaksanakan Salat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-tarangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik). Kepada para Gepeng dan rakyat miskin yang membutuhkan, kira kita yang berkelebihan dapat membantu mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun