Indonesia dalam bayang-bayang bahaya. Kondisi kedaruratan itu tersaji jelas dalam kebijakan Negara tentang darurat kesehatan, melalui bencana nasional non-alam (Kepres Nomor 12 Tahun 2020). Negara kita yang namanya Indonesia ini punya banyak regulasi yang silih-berganti diproduk. Tentu dari pemikiran dan hasil kompromi orang-orang baik di Senayan (DPR RI), bersama pihak eksekutif.
Namun penguatan konstitusional (legal-formal) saja tidak cukup. Rakyat memerlukan harmonisasi, antara aturan yang ada dengan penerapannya di lapangan.
Pada konteks ini, teladan sangat dibutuhkan. Publip berharap eksekutif dan juga legislatiflah yang memberi teladan tersebut. Mereka pembuat peraturan perundang-undangan kemudian lebih afdol menjadi pemberi contoh yang baik.
Bukan pelanggar aturan terbaik. Nyatanya memiriskan, yang melanggar aturan kebanyakan dari mereka. Rakyat memerlukan keteladanan dari stakeholder pemerintahan, tapi sepertinya kerinduan dan ekspektasi itu belum juga terwujud. Bagaimana pula pemerintah meminta rakyat taat aturan, kalau pemerintah sendiri (eksekutif dan legislatif) gagal memberi teladan yang baik.
Dalam kasuistiknya, para politisi, wakil rakyat, Menteri dan jajaran dibawahnya. Bahkan sampai Kepala Daerah pembuat Perda bersama DPRD juga terlibat korupsi. Kadang kala korupsinya sendiri-sendiri, sering kali juga berjamaah.
Artinya, pemerintah sama saja bermimpi menyuruh dan menghamba agar kesadaran rakyat terbentuk untuk konsisten menjalankan hukum, kalau pemerintah masih cacat moralitasnya, mereka menabrak hukum.
Rakyat tidak butuh pemerintah yang pandai, piawai memaparkan retorika politik dan menyusun argumentasi secara konseptual, melainkan kerja konkret. Tindakan nyata (kerja) yang dinanti rakyat. Percuma pemerintah, baik itu Presiden, para Menteri, Ketua DPR RI, anggota DPR, sampai pada Kepala Daerah, Wakil Kepala Daerah, Ketua DPRD, anggota DPRD Provinsi maupun Kabupaten/Kota banyak bicaranya, tapi tindakannya tidak sesuai dengan disampaikan.
Di tengah pandemic Corona Virus Disease 2029 (COVID-19), banyak hal-hal memiriskan terlitas di depan mata kita. Rakyat sedang kesulitan menghadapi kebutuhan ekonominya, bantuan sosial dari pemerintah pun belum merata, dan juga begitu lamanya bantuan sampai ke rakyat terdampak COVID-19.
Dalam situasi sulit, rakyat menjerit, ancaman kelaparan menghampiri rakyat Presiden Ir. Joko Widodo malah menaikkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Presiden seperti memanfaatkan sitausi sulit saat ini. Dengan ditandatanganinya Peraturan Presiden (Perpres) No. 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres No 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Kini iuran BPJS Kesehatan dinaikkan. Di mana sebelumnya, diakhir Desember iuran BPJS sudah dinaikkan melalui Perpres Nomor 75 tahun 2019, tapi kemudian 1 April dibatalkan melalui Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 7P/HU/2020