Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bencana Covid-19 Mereduksi Rasionalitas

7 Mei 2020   16:40 Diperbarui: 8 Mei 2020   11:31 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi, manusia frustasi 

Seperti luput dari amatan dan kerja kaum intelektual, bahwa Corona Virus (Covid-19) akan hadir. Mengetuk dan mengganggu kenyamanan kita. Kemudian, kita belum siap menerima, belum mampu mengantisipasi kehadurannya. Covid -19 akhirnya berhasil menginterupsi mobilitas sosial kita semua. Tidak hanya itu, kehadiran Covid-19 memporak-porandakan ekonomi Indonesia. Jangankan masyarakat, pemerintah juga dibuat panik dan risau oleh Covid-19.

Jika kita telisik, nyaris dan bahkan belum kita temukan obat ampuh yang dapat mencegah ekspansi pandemic Covid-19 ini. Anti virusnya belum ada. Ditambah lagi Covid-19 bukan saja membawa petaka tunggal, melaikan juga menyebar kecemasan.

Masyarakat kian ramai disuguhi, informasi dan bacaan-bacaan yang kualitas rendah, tak jarang menambah kepanikan. Publik, utama para ahli kita, mereka yang pakar dibidangnya juga belum mampu melahirkan penemuan soal ini. Bagaimana trik pencegahan dan imun yang tepat dalam mengantisipasi Covid-19. Kerjaan dokter atau petugas medis kita, kini hanyalah mengobati pasien Covid-19.

Mereka belum mampu dalam tahapan memproduksi temuan. Wabah Covid-19 mengalihkan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) ke titik paling bahwah dalam hal melahirkan solusi. Instrumen-instrumen seperti teknologi informasi, alat pendeteksi mereka yang terindikasi atau terpapar Covid-19 hanyalah serangkaian pemantik untuk menambah kepanikan masyarakat. Tidak mampu melawan Covid-19.

Pemerintah pun akhirnya dibuat hilang akal. Sibuknya hanya melakukan pengadaan Alat Pelindung Diri (APD), Satgas Covid-19 lebih banyak bergerak seperti pemadang kebakaran. Aspek pencegahannya lemah. Pergerakan Gugus Tugas Covid-19 lebih fokus ke ranah mengobati. Kalau pun pencegahan dilakukan, kecenderungannya masyarakat yang 'ditutut'' untuk stay at home.

Solusi atas masyarakat diminta di rumah saja, juga masih belum nampak. Artinya, signifikansi dan proporsionalitasnya harus dipikirkan pemerintah. Bila makin banyak masyarakat disuru tetap di rumah, harusnya lebih banyak anggaran diberikan untuk mereka. Pasalnya, produktifitas masyarakat menjadi hilang. Pendapatan ekonomi mereka juga tentu tak da lagi.

Dilain pihak, Covid-19 mulai datang dengan meninggalkan jejak perdebatan. Ada yang menilai Wuhan sebagai kampung halaman Covid-19 harus diisolasi secara komprehensif. Mirisnya, di Indonesia malah proses aliensi melalui orang per orang yang berafiliasi madzham Wuhan (China) tidak dilakukan secara ketat. Malah, longgar dan bocor. Banyak Tenaga Kerja Asing yang notabenenya dari China dibiarkan melenggang bebas masuk ke Indonesia.

Sementara disatu sisi, masyarakat pribumi diminta untuk tetap stay di rumah. Sungguh panorama yang tidak elok. Hal itu akan berimplikasi pada lahirnya diskriminasi, kecemburuan masyarakat dan boleh jadi melahirkan resistensi publik. Kalau tidak diatasi, keadilan masih diabaikan, maka rusuh menjadi pilihan masyarakat. Ketidakstabilan keaman terwujud, Covid-19 kian melahirkan kemerosotan nilai.

Seharusnya pemimpin kita lebih adil. Seperti itu pula penerapan PSBB, yang membawa citra kurang baik. Dimana daerah yang bertekat menerapkan PSBB harus melakukan permohonan. Padahal, kalau Indonesia sudah betul-betul darurat kesehatan nasional, harusnya segala kebijakan jangan dibuatkan bertele-tele. Efek dari terlalu berbelit dan penuh protokoler adalah akan makin banyaknya masyarakat yang positif Covid-19.

Kemudian konsekuensi logisnya, para tenaga medis kita nanti yang kewalahan. Coba bayangkan saja, ketika ikhtiar suatu daerah untuk mengajukan PSSB, sebut saja seperti di Kabupaten Bolaang Mongondouw, lalu ditolak Menteri Kesehatan. Maka, segala resiko setelah itu, bila meningkat masyarakat positif Covid-19, siapa yang patut disalahkan?. Niat baik pemerintah daerah dengan instiatifnya sebetulnya disambut pemerintah pusat. 

Bukan dibuatkan syarat yang melampawi situasi di daerah. Syarat yang memberatkan. Kesan lainnya, pemerintah pusat rupanya mau menghemat anggaran. Karena bila PSBB, maka jaminan hidup, kondisi pangan (logistik) masyarakat harus disuplay pemerintah pusat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun