DKPP) kepada Ketua Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI), Arif Budiman dan 4 (empat) anggota lainnya. Ironis, kabar yang tak menggembirakan publik. Kemudian 2 (dua) orang Komisioner dipecat. Ngeri-ngeri sedap, unik tapi demi penegakan aturan hal itu harus dilakukan. Marwah demokrasi kita seperti dirusak, direndahkan aktor penyelenggara Pemilu sendiri (KPU, red).Â
Dihadiahi status Peringatan Keras Terakhir dari Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (Lalu pada siapa rakyat boleh percaya?, quo vadis Pemilu berintegritas dan Jurdil?. Kalau kelakuan, kelicikan dan tabiat tak etis dari orang-orang yang awalnya mengaku berintegritas itu akhirnya terungkap busuknya. Kata integritas yang seakan menjadi keagungan, pakaian, standar etik, mahkota, kesucian dan kebanggan Komisioner, kini dibegali mereka sendiri.
Setelah Komisioner KPU Wahyu Setiawan yang diciduk KPK. Evi Novida Ginting Manik yang kemudian santer diberitakan media massa karena skandal. Evi diberhentikan karena melanggar Kode Etik penyelenggara Pemilu. Nah, dari 7 Komisioner KPU RI 2 diantaranya positif terdampak atau terpapar praktek curang. Penyalahgunaan kewenangan mereka lakukan dengan model sporadis malu-malu, atau radikal separuh hati. Berlagak idealis, ternyata perusak demokrasi.
Setelahnya, 5 Komisioner lainnya yang mendapat kode keras. Walau tertolong, tapi kepercayaan terhadap mereka mulai menurun drastis. Total 7 Komisioner KPU RI akhirnya memberi cerminan ke publik bahwa mereka cenderung menjadikan integritas sebagai mainan, pencitraan dan dekorasi semata. Bahkan, beberapa kawan saya menyebut integritas dijadikan alas kaki.
Mereka disinyalir tercemar virus kecurangan yang akut. Lebih bahaya dari penularan wabah Covid-19. Bagaimana kualitas demokrasi kita harapkan terlahir, kalau masih ada orang-orang seperti mereka?. Silahkan DKPP memacu kerjanya, menginvestigasi ke KPU Porivinsi dan Kabupaten/Kota.
Bisa juga menelisik ke belakang saat rekrutmen atau seleksi KPU di daerah. Jangan sampai ada praktek menggadaikan integritas dan kemandirian dari para Komisioner yang mulia itu. Demokrasi itu berkulitas letaknya juga berada pada kalian Komisioner. Jangan main-main, karena ancamannya trust publik akan melorot turun.
Jangan kalian bersembunyi pada argumen delegitimasi penyelenggara Pemilu. Soalnya bukan disitu, tapi pada tingkah laku personal. Berarti kalian tidak amanah mengemban tugas. Kepercayaan publik gagal anda-anda jaga.
Bencana demokrasi ternyata tidak dilakukan oknum politisi korup dan bandit, tapi juga dilakukan oknum Komisioner KPU. Realitas nyata dimana lembaga penyelenggara sekelas KPU RI melakukan praktek memalukan. Layak dipertanyakan, bagaimana mereka ini diseleksi?. Insiden 2 KPU RI yang diberhentikan ini menjadi aib besar bagi demokrasi kita.
Bukan para pengusaha bajingan yang berulah mereduksi dan mendestruksi demokrasi. Malah mereka yang digaji negara melakukan kegiatan kanibal, sungguh kurang ajar. Tentu situasi nasional yang mendera lembaga KPU memprihatinkan, bahkan mengecewakan kita semua. Di tingkat KPU RI saja seperti itu, bagaimana dengan KPU di daerah?. Sebab, yang merekrut dan menyeleksi KPU daerah adalah KPU RI. Di tingkat pusat tercemar Komisionermya, hal itu berpotensi mewabah dan dicloning ke KPU di daerah.
Pasti tercemar akal sehatnya. Idealisme dan integritasnya tercemar. Sungguh terlalu memalukan, kalian yang diberi amanah mengurus proses Pemilu malah bersikap maling. Kondisi ini memberi perhatian serius pada publik untuk mengevaluasi secara total, jernih, radikal, dan jujur terhadap kinerja KPU di Provinsi, dan Kabupaten/Kota se-Indonesia. Perilaku culas oknum KPU tersebut rasanya sukar dilupakan rakyat.
Seperti diketahui, Rabu 18 Maret 2020 DKPP mengeluarkan keputusan, selain kepada Evi, DKPP juga memberi sanksi bagi lima Komisioner KPU RI lainnya. DKPP memberi peringatan keras terakhir kepada Arief Budiman, Pramono Ubaid Tanthowi, Hasyim Asyari, Ilham Saputra, dan Viryan Azis. Publik seperti terinterupsi menyaksikan tragedi demokrasi yang memilukan.
Realitas dimana 2 Komisioner KPU RI diberhentikan tersebut menjadi penanda bahwa demokrasi kita tertimpa gelombang bencana. Pukulan telak dan peristiwa sejarah demokrasi yang suram. Tim seleksi KPU, DPR RI dan pemerintah bisa dibilang kecolongan. Kurang maksimal mendeteksi para calon anggota KPU RI berwatak penjajah sejak dini. Harapannya kedepan ada perbaikan dan sistem yang lebih canggih lagi dalam menyeleksi para anggota KPU dari Pusat sampai ke daerah-daerah. Jangan nantinya anggota KPU menjadi kanibal demokrasi.
Implikasinya kepercayaan publik terdegradasi. Komisioner KPU akhirnya kesulitan membantah dan menjegal stigma buruk dari publik. Faktanya begitu adanya, dimana sikap inkonsistennya Komisioner KPU ditengah menjaga integritas terjadi. Dalil terkait delegitimasi KPU rupanya tidak relevan lagi saat ini. Karena faktanya, Komisioner KPU sendiri yang mempermalukan nama baik lembaga ini.
KPU RI gagal menjadi role model. Mereka berlagak mengedukasi publik, ternyata memelihara kejahatan. Melanggengkan ketidakadilan dan kecurangan. Mereka melabrak dan memutilasi aturan. Peradaban demokrasi kita yang dihormati rakyat ternyata disodomi oknum KPU. Konstalasi di internal KPU yang seperti ini tak boleh diabaikan. Pantaslah gelombang protes publik di daerah terkait dugaan kecurangan KPU juga mencuat massif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H