Tidak semua politisi pandai obral janji. Ada yang gagap dan kaku dalam berjanji. Seperti itu pula, ada politisi yang doyan berjanji, tapi mengingkari. Ada politisi yang santun berucap, bermain citra baik, padahal esensinya, penipu.Â
Berhati-hatilah masyarakat sebagai konstituen, jangan tertipu. Sangat sedikit, politisi yang mampu memanifestasikan janjinya, itu pun tidak mencapai 100% janji ditunaikan.
Apalagi ini musim politik, hajatan Pilkada Serentak 2020 mulai bergema. Di Provinsi Sulawesi Utara sendiri, fenomena politisi ingkar janji banyak. Baik di Kabupaten/Kota, sampai tingkat Provinsi kalau kita telisik, pasti ada oknum politisi inkonsisten dalam perjuangan membela kepentingan masyarakat. Bagi masyarakat, apa caranya mengahapi politisi seperti itu? Kiranya penting membangun benteng kesadaran kritis.
Jadilah pemilih yang rasional, mandiri dan tidak lekas lupa dengan perilaku oknum politisi bandit. Penyamaran mereka terbilang canggih, di pentas politik atas pangging dan saat bicara di podium, berbeda dengan setelahnya. Berbincang dan menjanjikan sesuatu untuk masyarakat saat silaturahmi atau tatap muka, sesudahnya ia ingkari. Pura-pura pikun.
Bahaya, demokrasi memproduksi para bandit seperti ini. Masyarakat direduksi posisinya, hanya menjadi objek yang diperalat politisi. Itu sebabnya, saling mengingatkan jangan sampai masyarakat secara kolektif terjebak lagi dalam tipu daya politisi berhati kanibal. Gali dan aktifkan kembali memory kolektif tentang janji-janji politisi yang sampai saat ini belum ditunaikan.
Semua ''topeng politik'' itu dibongkar. Sebetulnya inilah ''aib politik'', tapi sekedar menjadi semacam alarm saja, jangan menjadi saklar lalu menggelapkan salamanya masa depan politisi munafik seperti itu.Â
Cukup menjadi alarm, membunyikan kegagalan politisi yang menebar janji, tapi tidak menunaikannya. Masyarakat harus beri ganjaran sosial, dengan tidak memilih lagi politisi pembohong, ingkar janji.
Masyarakat jangan cepat lupa dengan pembodohan sistematis yang dilakukan politisi. Masih banyak politisi lain yang punya hati mulia, tidak terindikasi korupsi pula. Kita tidak krisis kepemimpinan sebetulnya, hanya saja politik transaksional menguasai demokrasi kita, sehingga secara otomatis meninggalkan kaum politisi berintegratas dan idealis. Mereka tenggelam, tidak terpublikasi.
Jangan disepelehkan, karena kita menyesal nantinya. Bila memilih lagi politisi pembohong, gadaikan janji demi suara yang diraih, lalu masyarakat ditinggalkan, jangan lagi tertipu.Â
Sadarlah, bermutasi kita menjadi pemilih kritis, rasional, mengukur rekam jejak politisi dengan jernih dan jujur. Mereka para bandit, penipu masyarakat jangan dipilih lagi. Kita review kebelakang, apa yang mereka lakukan untuk masyarakat umumnya.
Segera melangkah, jangan tertipu dan memilih lagi pemimpin pendusta. Apa jadinya kehidupan masyarakat kelak, bila kepemimpinan masih diberikan kepadanya?. Yang terjadi hanya ada penyesalan, cacian dan umpatan dari masyarakat.Â