Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Dukun Politik dan Lembaga Survei

15 Januari 2020   16:17 Diperbarui: 15 Januari 2020   16:25 385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lembaga survey dan jasa konsultan politik kian mengalami tantangan yang serius. Hal itu bukan karena persaingan ekternal yang kuat, melainkan dari citra kelembagaan itu sendiri. Selain main menjamurnya bisnis lembaga konsultan atau pemenangan politik di Pemilu dan Pilkada, fenomena yang perlu dibicarakan juga adalah meluasnya kesan orientasi profit. Keuntungan, sisi kuantitas dari adanya kompensasi politik.

Padahl aspek pengamalan pengetahuan, pendidikan politik serta pencerdasan pemilih menjadi yang utama. Sekaligus beban moral dari kaum terdidik untuk menekan angka praktik politik transaksional yang terus menjalar di tengah masyarakat. Ruang itu sepertinya kecil. Yang terbaca di publik, lembaga survey merupakan sarana pra bayar. Bekerja atas komitmen MoU. Mereka pada situasi tertentu terkesan menghegemoni isu-isu politik dan berobsesi memonopoli isu.

Untuk tingkat akurasi prediksi dan analisis politik, sudah banyak pembuktian, bahwa lembaga survey mengalami beberapa kali kecolongan. Keliru dalam memastikan kemenangan dalam kompetisi politik. Kalau misalnya dibuat perbandingan, ada pegiat demokrasi, akademisi dan praktisi partai politik yang juga punya kalkulasi politik yang tepat.

Dalam hal data-data yang detail, tentang membaca presisi bergesernya suara, terhimpunnya suara secara kekuatan politik, peneliti dan lembaga-lembaga survey punya mekanisme kerja yang terukur. Walau tidak mutlak benar apa yang mereka sampaikan. Setidaknya, ada beberapa keterangan yang berbasis data dari mereka perlu diacungi jempol. Pada level tersebut, publik harus logis menilainya, dimana kerja mereka professional sebagai pekerja politik yang berdasarkan pesanan.

Pendekatan yang bersifat komersial, ternyata lambat-laun mereduksi keberadaan lembaga survey itu sendiri. Tanpa sadar, kini kita mulai menemukan masyarakat mengeluhkan tentang penggiringan opini. Embrio konflik politik yang kadang kesulitan pemerintah membendungnya, yang dicurigai karena kerja-kerja oknum yang tidak bertanggung jawab dalam menggiring opini publik. Alhasil, masyarakat mulai alergi dengan para pekerja lembaga survey.

Kita mundur kebelakang secara demokrasi. Mulai bermunculan krisis kepercayaan terhadap lembaga-lembaga survey, dan ini terjadi karena kerja-kerja mereka yang terbaca oleh publik. Pilihannya, harus direkonstruksi citra buruk itu. Jika tidak, maka kita yang beradab secara demokrasi ini akan ditarik mundur pada tradisi konservatisme bar-bar.

Dengan nada sarkastis masyarakat menjadi antipati terhadap lembaga survey. Respon seperti itu sebetulnya tidak kita kehendaki. Artinya apa?, sebagai bagian yang sadar akan perbaikan nilai-nilai demokrasi kita resah melihat politik merendahkan keadilan, moralitas dan kebenaran universal lainnya. Harus bahu-membahu kita memberi koreksi perbaikan terhadap klaim buruk terhadap lembaga survey politik.

Memang dengan adanya beberapa insiden, para pegiat lembaga survey atau peneliti yang memaparkan datanya di media massa, malah berbeda dengan konteks yang ada. Kandidat yang mereka jagokan, malah kalah dalam proses demokrasi. Bahknya, kadang menyedihkan, analisa yang dibangun atas argumentasi ''menang'', tidak ada kata ''kalah'' dalam kamus politik mereka. Hal tersebut juga tanpa sadar menjadi sandera tersendiri bagi lembaga survey professional dalam merebut kepercayaan publik. Melalui relasi yang kuat itulah, segala metode untuk menang dalam kompetisi politik dipertaruhkan.

Sehingga kadang yang korban adalah reputasi lembaga. Setelah momentum politik, pendapat mereka di publik pun mulai kurang diminati para pengiat politik karena mulai dianggap tendensius. Mereka terpenjara dengan stigma negative, yang karena itulah membatasi ruang kreativitas para konsultan-konsultan ini dalam mengadaptasikan gagasan dan strategi politiknya kepada masyarakat. Target membangun opini, malah sering gagal.

Walau tidak semuanya gagal, tapi capaian keberhasilan dari scenario yang dijalankan tidak efektif menggiring masyarakat. Sejatinya kita yang mulai mahfum soal dinamika demokrasi memberi ruang terhadap perkembangan tesis, antitesis dan sintesis. Dengan begitu kita tidak frustasi menerima kenyataan tentang suatu teori dan pemikiran yang nantinya mendapat penolakan dari masyarakat.

Melalui perkembangan ilmu pengetahuan, kita terintegrasi dengan semua instrument perubahan. Dan secara cepat menata pemikiran politik masyarakat untuk harus lebih maju. Keterbukaan media sosial, menjadi salah satu tantangannya yang jika tak mampu diantisipasi para pegiat lembaga survey, dengan sendiri akan mati. Tidak diminati lagi. Facebook dan Twitter menjadi alternative menggiring opini publik, serta menyampaikan agenda-agenda tertentu.

Hasil dari proses dialektika sosial dapat menghadirkan antitesa baru. Lembaga survey modern, bisa berpindah segmentasinya menjadi hanya disukai kaum terdidik atau kelas menengah ke atas. Malah kehadiran pengetahuan tentang metapolitik yang boleh saja diminati dan menjadi lebih akurat. Secara rasional, ini ancaman nyata demokrasi kita. Pendekatan yang logis tergerus dengan pendekatan-pendekatan mistik dalam ruang politik.  

Seperti itu pula, bertumbuhnya kesadaran mistikal politik di tengah masyarakat saat ini memang mulai ada. Jujur saja, hamper semua para calon pemimpin di Negara ini yang bertarung di ruang politik punya guru spiritual. Jangan dikira mereka bekerja pure untuk amal ibadah saja. Melainkan juga mulai terkontaminasi dengan pragmatisme. Jasa para penasehat spiritual juga tetap dihargai dengan penghargaan yang sepadan, artinya tidak gratis.

Menegakkan kaidar kebenaran, bagi kaum cendekiawan, intelektual kita diharamkan menerapkan kemunafikan. Benar dan salah yang dalam praktek politik menjadi tipis, harus menjadi pembatas bagi kita untuk menentukan sikap tegas melawan yang salah. Lantas kita diajarkan mengubur keburukan. Di raung politik suka duka itu biasa ditemukan para politisi. Mereka para tim atau konsultas menjadi menang secara finansial, meski kandidat yang diusung itu kalah dalam pertempuran politik.

Itulah konsekuensinya politik. Nyata adanya, bahwa lembaga survey juga sedang menggarap perang asimetris, tentu ada target dan sasaran yang dituju. Dari perang pikiran dan adu opini tersebut, para kalangan professional ini mengharapkan ada berkah politik seperti mereka mendapatkan keuntungan elektoral. Tentu untuk Tuannya, kandidat yang mereka desain untuk menang dan telah menerima konsesi politik dari Tuan tersebut.

Melalui kerja by request itu para ahli ini dapat mempengaruhi pemikiran pemilih dan kesadaran masyarakat akan digiring. Targetnya adalah memenangkan siapa yang mereka perjuangkan. Factor kerahasiaan data juga menjadi elemen penting disini. Maksudnya, tidak semua data yang diperoleh di internal dibeberkan ke publik. Data yang dibeberkan, tentu sesuai kebutuhan pemenangan saja. Tidak mungkin, mereka membuat bom bunuh diri.

Di Pilkada Serentak 2020, kita mulai menjadi objek mereka. Strategi mengkondisikan, mapping dan capain-capaian yang akan diraih mulai dibuatkan formulasinya. Masyarakat pemilih terkondisikan dalam skema politik yang dilakukan mereka. Melalui politik kanalisasi, yang dibangun bersama politisi. Bersyukur ada segelintir kelompok tercerahkan seperti para pekerja lembaga survey juga, peneliti demokrasi, konsultan politik, akademisi dan pengamat sosial politik yang hadir menyelamatkan moralitas demokrasi.

Paling tidak kaum creative minority yang menghargai demokrasi dijalankan dengan benar masih berdiri tegak. Hadir dengan peran strategisnya mengedukasi masyarakat agar tidak ikut-ikutan arus politik pecah-belah. Politik penuh sentimentil dan konflik hanyalah wujud nyata dari kerakusan politisi yang buta hati mau meraih kekuasaan. Sesungguhnya politik tidak mengenal kasta.

Apakah kita sudah siap mental dengan kehadiran dukun politik?. Mereka tentu tidak mengandalkan intelektual. Mereka enggan memakai teori politik, dan tentu punya kelebihan tersendiri. Merosotnya kepercayaan publik terhadap lembaga survey akan menjadi kesempatan emas bagi paranormal untuk turun gunung. Bila itu terjadi, maka runtuhlah keilmuan akademik kita. Percuma ada para Guru Besar, aktivis mahasiswa, para analis politik, ahli politik.

Dicari dukun politik, benarkah? Tentu dari lubuk hati yang paling dalam kita kaum intelektual menolaknya. Menolak dalam konteks rasional tentunya. Karena politik itu bukan mistik, melainkan rasional. Siapa bilang kemenangan politik itu faktor takdir secara tunggal?, rasanya tidak. Ikhtiar dan doa yang menjawab semuanya. Apalagi hanya sekedar mengandalkan dukun politik. Sudah pasti lebih blunder lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun