Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Dukun Politik dan Lembaga Survei

15 Januari 2020   16:17 Diperbarui: 15 Januari 2020   16:25 385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dukun saat beraksi (Foto papashaman.fr)

Hasil dari proses dialektika sosial dapat menghadirkan antitesa baru. Lembaga survey modern, bisa berpindah segmentasinya menjadi hanya disukai kaum terdidik atau kelas menengah ke atas. Malah kehadiran pengetahuan tentang metapolitik yang boleh saja diminati dan menjadi lebih akurat. Secara rasional, ini ancaman nyata demokrasi kita. Pendekatan yang logis tergerus dengan pendekatan-pendekatan mistik dalam ruang politik.  

Seperti itu pula, bertumbuhnya kesadaran mistikal politik di tengah masyarakat saat ini memang mulai ada. Jujur saja, hamper semua para calon pemimpin di Negara ini yang bertarung di ruang politik punya guru spiritual. Jangan dikira mereka bekerja pure untuk amal ibadah saja. Melainkan juga mulai terkontaminasi dengan pragmatisme. Jasa para penasehat spiritual juga tetap dihargai dengan penghargaan yang sepadan, artinya tidak gratis.

Menegakkan kaidar kebenaran, bagi kaum cendekiawan, intelektual kita diharamkan menerapkan kemunafikan. Benar dan salah yang dalam praktek politik menjadi tipis, harus menjadi pembatas bagi kita untuk menentukan sikap tegas melawan yang salah. Lantas kita diajarkan mengubur keburukan. Di raung politik suka duka itu biasa ditemukan para politisi. Mereka para tim atau konsultas menjadi menang secara finansial, meski kandidat yang diusung itu kalah dalam pertempuran politik.

Itulah konsekuensinya politik. Nyata adanya, bahwa lembaga survey juga sedang menggarap perang asimetris, tentu ada target dan sasaran yang dituju. Dari perang pikiran dan adu opini tersebut, para kalangan professional ini mengharapkan ada berkah politik seperti mereka mendapatkan keuntungan elektoral. Tentu untuk Tuannya, kandidat yang mereka desain untuk menang dan telah menerima konsesi politik dari Tuan tersebut.

Melalui kerja by request itu para ahli ini dapat mempengaruhi pemikiran pemilih dan kesadaran masyarakat akan digiring. Targetnya adalah memenangkan siapa yang mereka perjuangkan. Factor kerahasiaan data juga menjadi elemen penting disini. Maksudnya, tidak semua data yang diperoleh di internal dibeberkan ke publik. Data yang dibeberkan, tentu sesuai kebutuhan pemenangan saja. Tidak mungkin, mereka membuat bom bunuh diri.

Di Pilkada Serentak 2020, kita mulai menjadi objek mereka. Strategi mengkondisikan, mapping dan capain-capaian yang akan diraih mulai dibuatkan formulasinya. Masyarakat pemilih terkondisikan dalam skema politik yang dilakukan mereka. Melalui politik kanalisasi, yang dibangun bersama politisi. Bersyukur ada segelintir kelompok tercerahkan seperti para pekerja lembaga survey juga, peneliti demokrasi, konsultan politik, akademisi dan pengamat sosial politik yang hadir menyelamatkan moralitas demokrasi.

Paling tidak kaum creative minority yang menghargai demokrasi dijalankan dengan benar masih berdiri tegak. Hadir dengan peran strategisnya mengedukasi masyarakat agar tidak ikut-ikutan arus politik pecah-belah. Politik penuh sentimentil dan konflik hanyalah wujud nyata dari kerakusan politisi yang buta hati mau meraih kekuasaan. Sesungguhnya politik tidak mengenal kasta.

Apakah kita sudah siap mental dengan kehadiran dukun politik?. Mereka tentu tidak mengandalkan intelektual. Mereka enggan memakai teori politik, dan tentu punya kelebihan tersendiri. Merosotnya kepercayaan publik terhadap lembaga survey akan menjadi kesempatan emas bagi paranormal untuk turun gunung. Bila itu terjadi, maka runtuhlah keilmuan akademik kita. Percuma ada para Guru Besar, aktivis mahasiswa, para analis politik, ahli politik.

Dicari dukun politik, benarkah? Tentu dari lubuk hati yang paling dalam kita kaum intelektual menolaknya. Menolak dalam konteks rasional tentunya. Karena politik itu bukan mistik, melainkan rasional. Siapa bilang kemenangan politik itu faktor takdir secara tunggal?, rasanya tidak. Ikhtiar dan doa yang menjawab semuanya. Apalagi hanya sekedar mengandalkan dukun politik. Sudah pasti lebih blunder lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun