Lembaga survey dan jasa konsultan politik kian mengalami tantangan yang serius. Hal itu bukan karena persaingan ekternal yang kuat, melainkan dari citra kelembagaan itu sendiri. Selain main menjamurnya bisnis lembaga konsultan atau pemenangan politik di Pemilu dan Pilkada, fenomena yang perlu dibicarakan juga adalah meluasnya kesan orientasi profit. Keuntungan, sisi kuantitas dari adanya kompensasi politik.
Padahl aspek pengamalan pengetahuan, pendidikan politik serta pencerdasan pemilih menjadi yang utama. Sekaligus beban moral dari kaum terdidik untuk menekan angka praktik politik transaksional yang terus menjalar di tengah masyarakat. Ruang itu sepertinya kecil. Yang terbaca di publik, lembaga survey merupakan sarana pra bayar. Bekerja atas komitmen MoU. Mereka pada situasi tertentu terkesan menghegemoni isu-isu politik dan berobsesi memonopoli isu.
Untuk tingkat akurasi prediksi dan analisis politik, sudah banyak pembuktian, bahwa lembaga survey mengalami beberapa kali kecolongan. Keliru dalam memastikan kemenangan dalam kompetisi politik. Kalau misalnya dibuat perbandingan, ada pegiat demokrasi, akademisi dan praktisi partai politik yang juga punya kalkulasi politik yang tepat.
Dalam hal data-data yang detail, tentang membaca presisi bergesernya suara, terhimpunnya suara secara kekuatan politik, peneliti dan lembaga-lembaga survey punya mekanisme kerja yang terukur. Walau tidak mutlak benar apa yang mereka sampaikan. Setidaknya, ada beberapa keterangan yang berbasis data dari mereka perlu diacungi jempol. Pada level tersebut, publik harus logis menilainya, dimana kerja mereka professional sebagai pekerja politik yang berdasarkan pesanan.
Pendekatan yang bersifat komersial, ternyata lambat-laun mereduksi keberadaan lembaga survey itu sendiri. Tanpa sadar, kini kita mulai menemukan masyarakat mengeluhkan tentang penggiringan opini. Embrio konflik politik yang kadang kesulitan pemerintah membendungnya, yang dicurigai karena kerja-kerja oknum yang tidak bertanggung jawab dalam menggiring opini publik. Alhasil, masyarakat mulai alergi dengan para pekerja lembaga survey.
Kita mundur kebelakang secara demokrasi. Mulai bermunculan krisis kepercayaan terhadap lembaga-lembaga survey, dan ini terjadi karena kerja-kerja mereka yang terbaca oleh publik. Pilihannya, harus direkonstruksi citra buruk itu. Jika tidak, maka kita yang beradab secara demokrasi ini akan ditarik mundur pada tradisi konservatisme bar-bar.
Dengan nada sarkastis masyarakat menjadi antipati terhadap lembaga survey. Respon seperti itu sebetulnya tidak kita kehendaki. Artinya apa?, sebagai bagian yang sadar akan perbaikan nilai-nilai demokrasi kita resah melihat politik merendahkan keadilan, moralitas dan kebenaran universal lainnya. Harus bahu-membahu kita memberi koreksi perbaikan terhadap klaim buruk terhadap lembaga survey politik.
Memang dengan adanya beberapa insiden, para pegiat lembaga survey atau peneliti yang memaparkan datanya di media massa, malah berbeda dengan konteks yang ada. Kandidat yang mereka jagokan, malah kalah dalam proses demokrasi. Bahknya, kadang menyedihkan, analisa yang dibangun atas argumentasi ''menang'', tidak ada kata ''kalah'' dalam kamus politik mereka. Hal tersebut juga tanpa sadar menjadi sandera tersendiri bagi lembaga survey professional dalam merebut kepercayaan publik. Melalui relasi yang kuat itulah, segala metode untuk menang dalam kompetisi politik dipertaruhkan.
Sehingga kadang yang korban adalah reputasi lembaga. Setelah momentum politik, pendapat mereka di publik pun mulai kurang diminati para pengiat politik karena mulai dianggap tendensius. Mereka terpenjara dengan stigma negative, yang karena itulah membatasi ruang kreativitas para konsultan-konsultan ini dalam mengadaptasikan gagasan dan strategi politiknya kepada masyarakat. Target membangun opini, malah sering gagal.
Walau tidak semuanya gagal, tapi capaian keberhasilan dari scenario yang dijalankan tidak efektif menggiring masyarakat. Sejatinya kita yang mulai mahfum soal dinamika demokrasi memberi ruang terhadap perkembangan tesis, antitesis dan sintesis. Dengan begitu kita tidak frustasi menerima kenyataan tentang suatu teori dan pemikiran yang nantinya mendapat penolakan dari masyarakat.
Melalui perkembangan ilmu pengetahuan, kita terintegrasi dengan semua instrument perubahan. Dan secara cepat menata pemikiran politik masyarakat untuk harus lebih maju. Keterbukaan media sosial, menjadi salah satu tantangannya yang jika tak mampu diantisipasi para pegiat lembaga survey, dengan sendiri akan mati. Tidak diminati lagi. Facebook dan Twitter menjadi alternative menggiring opini publik, serta menyampaikan agenda-agenda tertentu.