Cara politik yang kontra terhadap konstruksi nilai nampak diperagakan politisi. Pusarannya berefek dari praktek politik di lingkar kekuasaan paling inti, yakni dari Jakarta. Pusat pemerintahan yang kadang memperlihatkan politik pada konteks menunjukkan kemewahan. Politisi bertarung kekayaan, tidak sekedar menonjolkan fikiran kritisnya.
Kultur politik yang tidak sejalan dengan kearifan lokal masyarakat inilah yang menghantam tatanan politik lokalitas. Masyarakat di kampung-kampung atau daerah terpencil, akhirnya mendapatkan eksesnya. Kerukunan, toleransi dan kebersamaan yang menjadi pengikat masyarakat, bergeser karena konflik kepentingan politik. Kiblat politik kita dikanal pada hal-hal modern yang menjadi budak globalisasi.
Tanpa kita sadari, solidaritas masyarakat menjadi tercerabut. Politik bukan lagi menjadi ajakan dan starting point untuk memperbaiki peradaban manusia. Melainkan, sekedar hajatan rebutan kepentingan, memperkaya diri.
Kemudian, mengabaikan urusan-urusan kolektif. Intensitas politik menjadi sebuah rutinitas lima tahunan yang memberi keuntungan jangka pendek bagi masyarakat. Bahkan, dampak negatifnya lebih besar dirasakan masyarakat.
Akibat propaganda politik dan pertentangan kepentingan, kebersamaan ditengah masyarakat terganggu. Tradisi politik destruktif sering masuk melalui politik adu domba, politik uang dan isu-isu sentimentil lainnya. Politik yang seyogyanya mengikat masyarakat dalam ruang persatuan, malah mencerai-beraikan masyarakat. Keutuhan dan tema-tema integrasi sosial, sekedar menjadi dekorasi dalam kampanye yang digunakan para politisi.
Nyatanya, setelah turun dari panggung dan podium kampanye, pertengkaran kepentingan berlanjut. Diskriminasi dan disparitas dalam ruang politik makin terbuka. Tidak sejalan dengan upaya keras pemerintah memperkuat shaf demi keutuhan masyarakat. Benturan kepentingan melalui distribusi isu dalam politik begitu efektif ditengah masyarakat.Â
Amat berpengaruhnya isu negatif ditengah masyarakat, ketimbang isu-isu positif. Kalau lemparan isu dibalas dengan counter isu secara setara, maka ruang politik mungkin masih dapat dikendalikan. Namun, ketika posisinya tidak berimbang, maka implikasinya terjadi polarisasi ditengah masyarakat. Retorika politik soal konsolidasi, yang ada malah disintegrasi. Peluang masuk berbagai pihak berkepentingan dalam kancah politik kita begitu terbuka.
Mulai mengguritanya tradisi politik destruktif yang tercermin dari para politisi di Jakarta, meruntuhkan demokrasi di daerah. Politik selalu ditarik pada ukuran kekayaan, berapa stok dana yang disediakan dalam pertarungan politik.
Kemampuannya diukur sekedar pada nilai materi. Selebihnya, hanya menjadi fariabel tambahan. Alhasil, politik di daerah pun tercemar dengan politik uang. Masyarakat menjadi pandai membedakan politisi yang berduit dan yang miskin melarat.
Politisi gakin yang punya pengalaman dan pengetahuan cukup, akan ditinggalkan masyarakat. Mereka beralih memilih politisi yang minim pengalaman asalkan bisa memberikan uang dan bantuan sembako.
Dominasi uang menjadi semata-mata ukuran paling ampuh dalam mengukur kesuksesan politisi dalam bertarung. Inilah kerancuan dan aib di ruang politik kita sebetulnya. Walau begitu, Pilkada 2020 kompromi politik dari politisi dan pengusaha bisa terbangun. Tentu ini menjadi tanda awas bagi demokrasi kita.
Hal yang tidak masuk dalam kategori primer dalam berpolitik, menjadi primer dalam prakteknya. Hasil yang ditemukan, wakil rakyat kita bahkan Kepala Daerah kebanyakan pengusaha.
Kaum berduit, para pemikir, aktivis yang kenyang pengalaman berada diluar kekuasaan karena tak punya uang untuk bersaing dalam politik. Logika politik dikotori dengan logika untung-rugi. Berapa besar uang yang dikeluarkan, juga harus berbanding lurus dengan uang yang didapat saat memperoleh jabatan.
Kombinasi kekuatan politisi pengusaha lebih banyak mudharatnya. Harusnya panggung politik diisi para politisi negarawan. Karena masuknya para pengusaha akan mereduksi peran politisi membangun negara dan daerah.
Pelayanan publik akan dikesampingkan dengan memikirkan keuntungan kekayaan dan membuka bisnis seluas-luasnya, jika pengusaha diberi pelung berkuasa. Pembangunan daerah akan menjadi ajang barter kepentingan, kepentingan masyarakat dinomor duakan, tanpa kita sadari.Â
Perkawinan kepentingan politisi dan pengusaha akan menginteruosi pembangunan. Sebab semua akan dilatari dengan politik kompensasi. Tidak murni lagi pembangunan dilakukan, aspek keuntungan modal yang bisa menjadi lebih diutamakan. Artinya apa?, masyarakat harus memilih yang terbaik dari rentetan pilihan-pilihan terbaik.[**]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H