Hal yang tidak masuk dalam kategori primer dalam berpolitik, menjadi primer dalam prakteknya. Hasil yang ditemukan, wakil rakyat kita bahkan Kepala Daerah kebanyakan pengusaha.
Kaum berduit, para pemikir, aktivis yang kenyang pengalaman berada diluar kekuasaan karena tak punya uang untuk bersaing dalam politik. Logika politik dikotori dengan logika untung-rugi. Berapa besar uang yang dikeluarkan, juga harus berbanding lurus dengan uang yang didapat saat memperoleh jabatan.
Kombinasi kekuatan politisi pengusaha lebih banyak mudharatnya. Harusnya panggung politik diisi para politisi negarawan. Karena masuknya para pengusaha akan mereduksi peran politisi membangun negara dan daerah.
Pelayanan publik akan dikesampingkan dengan memikirkan keuntungan kekayaan dan membuka bisnis seluas-luasnya, jika pengusaha diberi pelung berkuasa. Pembangunan daerah akan menjadi ajang barter kepentingan, kepentingan masyarakat dinomor duakan, tanpa kita sadari.Â
Perkawinan kepentingan politisi dan pengusaha akan menginteruosi pembangunan. Sebab semua akan dilatari dengan politik kompensasi. Tidak murni lagi pembangunan dilakukan, aspek keuntungan modal yang bisa menjadi lebih diutamakan. Artinya apa?, masyarakat harus memilih yang terbaik dari rentetan pilihan-pilihan terbaik.[**]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H