Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Tak Perlu Kaget, Pejabat Publik Memang Begitu

10 November 2019   11:31 Diperbarui: 13 November 2019   15:00 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lantas apa yang kita bayangkan, bila pejabat publik ingkar janji? Kadang kala kita terlibat komunikasi akrab, bagai saudara sendiri. Sering juga terputus, tak saling menyapa. 

Keakraban dengan siapapun di dunia memang begitu adanya. Naik turun, kadang mandek, adakalanya lancar. Termasuk berhubungan dengan pejabat publik.

Ya, sudah masuk di dalamnya para kepala daerah, legislator sampai Presiden. Kalau kita mengerti dan memahami psikologi sosial dan adab pejabat, maka pasti kita maklumi. 

Biasalah itu. Tak ada relasi yang paten dalam urusan keduniaan. Begitulah politisi, tak perlu kagetlah. Memang begitu adanya.

Kita dibutuhkan kalau ada perlunya. Jangan cepat-cepat GR (gede rasa) ketika dipuji. Ketika dekat dengan mereka yang kita anggap pejabat publik, biasa saja. Karena semua itu perjumpaan kepentingan. Setelah kepentingannya selesai, atau kepentingan kita selesai, bisa saling melupakan.

Hempaskan kesan yang melumpuhkan kesadaran kritis dan rasional kita. Dekat dengan politisi atau pejabat tinggi kadang dilupakan, itu mah biasa. Belajarlah dari pengalaman. Membaca beberapa keluh kesah, ekspresi kecemasan dan kekecewaan beberapa kawan, saya hanya bisa tersenyum.

Dalam benak saya, sudah seperti itulah watak pejabat. Mereka maunya dihormati, dikultuskan. Mereka mudah melupakan. Gampang ingat, tapi ingatannya kepada kawan yang mungkin mengetahui kasus vital oknum pejabat tersebut.

Bagi kawan yang mereka kenal biasa-biasa saja, pasti gampang dilupakannya. Tidak harus sampai Baper (bawa perasaan) saat kenal para pejabat. Sebab kelak, mereka lupa dengan kontribusi dan ketulusanmu membantu.

Apalagi sang pejabat itu dikelilingi para pembisik yang hatinya busuk. Habislah kau, character assassination (pembunuhan karakter) dilakukan, dan kau jadi dibenci pejabat yang kau anggap dekat. Jadilah penjilat, kata kawanku di Jarod yang sering berdiskusi intens dari tema ringan sampai berat.

Wah, gawat juga. Sekelas kita yang mengagungkan idealisme. Menolak takluk pada intervensi, terdidik untuk gelorakan idealisme yang akrab dengan gagasan progresif, tentu tak mau menjadi penjilat. 

Bukan itu marwah yang akan digapai, yang kerjanya hanya memuji penguasa. Bukan tipikal kitalah, saya balas membisik ke kawan itu. Tegas, kita bukan gen penjilat.

Pejabat itu gampang lupa kawannya. Bisa jadi karena kesibukannya, itu alasan klasiknya. Maklumi saja, berteman apa adanya jangan berlebihan mengagumi mereka sebetulnya. Jika berpegang pada janji, lalu kau tagih janji itu, sukarlah tentunya. Tidak mudah kau menemukan pejabat yang tulus berteman.

Meski itu ada, sangat jarang. Umumnya mereka berteman karena kepentingan tertentu. Terutama di musim Pemilu atau Pilkada, rata-rata para pejabat Negara itu baik hatinya. 

Namun, selepas momentum itu, mereka menjadi orang pelupa. Pasif dalam memulai komunikasi, merespon komunikasi pun kadang mereka abaikan.

Intinya tak boleh berharap berlebihan. Kau dekat dengan pejabat karena kapastitas, itu syukurilah. Baik kau jurnalis, pimpinan Ormas, tim sukses, tokoh agama, sampai disitu saja porsimu, jangan mau lebih. 

Setelah momentum politik harus terima kenyataan bahwa kau akan dilupakan. Belajarlah dari pengalaman.

Ketika berdoa besok, atau lusa, ke depannya tak lagi menjumpai persoalan serupa. Merasa dekat dengan pejabat Negara, lalu kau menggambarkan tentang masa depan yang indah, kau gantungkan ke mereka, jangan senekat itu kawan. 

Nanti yang kau dapat hanya kekecewaan. Kecuali meniru saran kawanku itu, yakni menjadi penjilat.

Banyak pengalaman berharga yang kita dengar dari cerita kawan, maupun yang kita alami sendiri. Sedih dan pilu rasanya membaca kegelisahan kawan soal perjuangannya yang sendiri, untuk si pejabat lalu dicuekin. 

Seperti itukah karakter para pejabat publik? tidak semua. Tak boleh kita generalisir memang.

Minimal hal-hal semacam itu menjadi pengigat. Dijadikan sebagai pengalaman juga buat kita, iya kita semua yang mungkin pernah keracunan janji manis pejabat publik. bawa semua keluh kesah, dan penyesalan itu dalam doa di hadapan Tuhan. Tentu Tuhan yang kita percayai di masing-masing pemeluk Agama.

Berikan doa terbaik, agar mereka para pejabat itu diberikan hidayah, kearifan, makrifat, kebijaksanaan dan dituntun menuju jalan-jalan kebaikan. Tidak terperosok pada jalan sesat. 

Tidak melakukan hal-hal melawan hukum. Kita turut mendoakan mereka agar langgeng perjuangan kepemimpinan dan pengabdian mereka.

Tidak harus mendendam. Ikhlaskan saja kalau kau pernah berjuang bersama si pejabat publik itu, pernah cinta dan peduli padanya. Tapi kini kau dicampakan, dilupakan dan tidak dibantu saat menghadapi kesulitan hidup. Kehidupan ini tidak rumit sebenarnya, kita harus ber-positive thinking, tulus ikhlas.

Allah SWT maha membolak-balikkan kehidupan kita. Ketika Allah SWT berkenan, tak ada satu makhluk pun di dunia ini yang membendungnya. Takdir Allah SWT selalu misterius dan kita tak mampu menjangkaunya, tawakkal hanya kepada Allah SWT. Serahkan semua urusan pada-Nya dalam ibadah yang khusyu.

Saling mendoakan, agar kita dipanjangkan umur. Diberikan kesehatan, kemudahan dan dijauhkan dari mara bahaya. Kita semua dijauhkan dari penyakit hati, maupun penyakit menular lainnya. 

Anggap saja pejabat publik yang kita kenal itu sedang mengurusi hal-hal yang lebih penting dari urusan kita. Jangan bersedih, jangan gentar hadapi cobaan hidup.

Mungkin kita berbeda dalam segala hal, termasuk dengan pejabat publik yang kita kagumi, kita anggap dekat dengannya. Tapi kita satu dalam cinta, yakni cinta kepada Tuhan sang pemilik jagat raja. Jangan karena sakit hati atau kecewa membuat kita saling menjegal. 

Memusuhi antara satu dengan yang lain, perbedaan pendapat dan lawan debat adalah teman berfikir. Ayo terus menumbuhkan kesadaraan kebersamaan.

Kau keracunan janji manis dari figur yang kau tokohkan, kau merasa dekat dengannya, sati visi, dan kau idolakan, tentu mengecewakan. Tapi, jangan lantas putus asa. Itu biasa, tetap berusahalah bekerja untuk menghidupi diri dan keluarga. Jangan bergantung pada manusia, bergantunglah kepada Allah SWT.

Kalau dirasa perlu meluka hijrah. Lakukanlah demi perbaikan hidupmu, kau hijrah tanpa dendam dan amarah. Mungkin saja Allah SWT menakdirkan kau ditempat lain, bisa punya peluang dan kemudahan menghidupkan kelurga.

Banyak berguguran dan menjadi korban dari kebiasaan memuliakan pejabat publik yang berlebihan. Hasilnya apa?, mereka kecewa dan marah-marah. Harusnya di era demokrasi yang transparan ini kita menjadi warga yang ramah. 

Jangan terlalu mudah naik tensi. Banyak diantara kita pasti mernah merasa tersakiti, tidak dianggap oleh pejabat publik yang pernah kita dekat dengannya.

Sudah begitu hukumnya, pejabat publik itu milik publik. bukan lagi milik personal, atau kelompok. Karena dominasi kelompok tertentu yang berlebihan akan mengkerdilkan, mereduksi peran strategi dari seorang pejabat publik. 

Jangan kita arogan membuat tembok, memberi pembatas terhadap ruang gerak pejabat publik.

Walau mereka disatu sisi butuh pasukan militan. Butuh gerbong yang loyal, tapi peran publik mereka harus dihormati. Konsekuensinya kadang mereka melupakan, kita iya kita-kita yang mengaku atau merasa dekat dengannya. 

Biasalah itu, jangan baper. Ritme hidup itu akan terus berganti. Rotasi kepemimpinan  berlanjut, siklus dunia pun begitu adanya, tidak statis.

Dalam konteks lain, ada temuan juga bahwa pejabat publik sering takut dengan keramaian. Menjaga kewibawaan, sulit rasanya membaur dengan masyarakat umum. 

Agak kurang ditemukan pejabat publik yang betul-betul merakyat. Konsisten pada pertemanan, itulah keragaman watak pejabat publik yang harus kita hargai.

Pejabat publik yang telah disumpah dengan kitab suci saja sering khilaf. Ketika berpidato, diatas podium tak mungkin semua halayak yang dilihatnya disapa satu per satu. Mereka punya kekurangan juga. Seperti itu pula ingatan mereka terhadap kawan seperjuangan. Kadang dilupakan.

Secara manusiawi ketika berada diatas tahta kekuasaan, mereka dipuji pejabat publik ini. Dikerumuni semua orang, baik pendukung atau pembenci sekalipun. 

Seiring jalannya waktu, setelah melepas tahta, pejabat publik ini ditinggalkan. Celakanya lagi, bila disaat memimpin ia tak mewariskan keteladanan yang baik kepada bawahannya dan masyarakat.

-------------

Catatan Bung Amas Mahmud

Jarod Manado, 10 November 2019.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun