Jangan kita arogan membuat tembok, memberi pembatas terhadap ruang gerak pejabat publik.
Walau mereka disatu sisi butuh pasukan militan. Butuh gerbong yang loyal, tapi peran publik mereka harus dihormati. Konsekuensinya kadang mereka melupakan, kita iya kita-kita yang mengaku atau merasa dekat dengannya.Â
Biasalah itu, jangan baper. Ritme hidup itu akan terus berganti. Rotasi kepemimpinan  berlanjut, siklus dunia pun begitu adanya, tidak statis.
Dalam konteks lain, ada temuan juga bahwa pejabat publik sering takut dengan keramaian. Menjaga kewibawaan, sulit rasanya membaur dengan masyarakat umum.Â
Agak kurang ditemukan pejabat publik yang betul-betul merakyat. Konsisten pada pertemanan, itulah keragaman watak pejabat publik yang harus kita hargai.
Pejabat publik yang telah disumpah dengan kitab suci saja sering khilaf. Ketika berpidato, diatas podium tak mungkin semua halayak yang dilihatnya disapa satu per satu. Mereka punya kekurangan juga. Seperti itu pula ingatan mereka terhadap kawan seperjuangan. Kadang dilupakan.
Secara manusiawi ketika berada diatas tahta kekuasaan, mereka dipuji pejabat publik ini. Dikerumuni semua orang, baik pendukung atau pembenci sekalipun.Â
Seiring jalannya waktu, setelah melepas tahta, pejabat publik ini ditinggalkan. Celakanya lagi, bila disaat memimpin ia tak mewariskan keteladanan yang baik kepada bawahannya dan masyarakat.
-------------
Catatan Bung Amas Mahmud
Jarod Manado, 10 November 2019.