Cinta itu perang, kata Buya Hamka. Perang yang hebat dalam rohani manusia. Jika ia menang, akan didapati orang yang tulus ikhlas, luas pikiran, sabar dan tenang hati. Jika ia kalah, akan didapati orang yang putus asa, sesat, lemah hati, kecil perasaan dan bahkan kadang-kadang hilang kepercayaan pada diri sendiri.
Kalau berpolitik dengan rasa cinta, pasti yang dikejar dalam politik adalah pengabdian. Jangan berpolitik dengan amarah, nafsu, obsesi dan keserakahan berkuasa. Dengan cinta, lawan politik dapat dihargai. Politik hanya menjadi alat yang digunakan, lalu cinta melingkarinya dengan praktek-praktek saling menghargai.
Politik dan cinta harus seiring-sejalan. Jangan buatkan dikotomi. Atau politik dan cinta dikontradiksikan. Akhirnya, kepentinganlah yang menjadi dewa. Birahi untuk berkuasa yang merasuk dalam pikiran politisi. Hasilnya, praktek politik yang dilakukan penuh dengan agenda jahat, saling menjatuhkan.
Mereka naik kemudian menjatuhkan yang lain. Padahal, etika politik tidak mengajarkan itu. Silahkan berlomba-lomba maju, lakukan kebaikan. Tak harus naik, lalu menjatuhkan yang lain. Politik prinsipnya mengajarkan humanisme. Melalui cara-cara etis, penuh praktek moralitas.
Kalau Soe Hok Gie menganggap politik adalah barang yang paling kotor. Namun, dia tahu suatu saat manusia tidak dapat menghindari diri lagi, maka terjunlah mereka dalam politik. Politik diposisikan sebagai hal yang berbahaya, jahat dan mengerikan. Yang rusak dalam praktek politik, itu oknum.
Bukan politik yang destruktif. Gus Dur pernah berkata, yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan. Niat baik kita memperbaiki politik dengan idealisme, itu berarti harus turun dalam kancah politik. Jangan menjauh, atau mencaci. Dan penuh sinisme terhadap politik.
Seperti cinta yang selalu saja misterius. Politik pun begitu. Tere Liye memberi isyarat, jangan terburu-buru, atau kau akan merusak jalan ceritanya sendiri. Jika politik dijalankan penuh cinta, maka terwujudlah keadilan, kesejahteraan, yang hak dan batil akan terverifikasi. Lawan politik, menjadi kawan. Tidak diaduk jadi konflik.
Pada akhirnya cinta adalah perbuatan. Kata-kata dan tulisan indah adalah omong kosong. Politik idealnya begitu, bukan sekedar retorika. Melainkan, menjalankan kata-kata. Kata indah dan bijaksana dari politisi, sejatinya terwujud dalam prakteknya.
Harus selaras. Jangan timpang antara kata dan perbuatan. Cinta tak mengajarkan kita lemah, tetapi membangkitkan kekuatan. Demi kemajuan bersama, politik juga mengajarkan spirit perjuangan. Tak harus gentar menegakkan kemanusiaan.
Cinta membangkitkan semangat, bukan melemahkan semangat. Gelora ini harus menggenapi perjuangan politisi, jangan mau kalah sama konglomerat dan pengusaha bajingan yang hanya memperkaya diri. Lalu melumpuhkan kebutuhan masyarakat. Politisi harus tegak lurus bersama masyarakat.
Banyaknya kepentingan berseliweran dalam politik. Walau begitu jangan membuat politisi gelap mata. Hilang rasionalitas dan independensi politiknya dalam memperjuangkan nasib masyarakat. Problem majemuk dalam praktek politik kita harus dijawab dengan keberanian berpihak pada masyarakat.
Untuk konteks ini, membaca pikiran Prabowo Subianto bahwa setiap perbedaan pendapat ataupun pertentangan politik hendaknya diselesaikan secara musyawarah dan mufakat. Logika penyelesaian masalah ini sangatlah relevan. Tidak ada masalah dalam politik yang tak dapat diselesaikan.
Kini para politisi malah tergeser pada cara kegilaan. Bukan lagi dengan cinta dan politik profetik. Melainkan kombinasi ideologi politik Barat yang mengutamakan menang dalam pertarungan politik. Solusinya, mereka mengadopsi praktek politik kegilaan. Yaitu menghalalkan segala cara agar menang.
Kegilaan itu berawal dengan kemarahan. Dan biasanya, berujung dengan penyesalan. Idelnya politisi menjadi agen yang rasional pikirannya. Politisi itu punya standar keadaban berpolitik. Mereka menjadi acuan masyarakat umumnya. Kalau kehilangan pedoman etika dan moral, hilanglah kewibawaan.
Karena kewibawaan itu terbangun atas perilaku-perilaku mulia. Perbuatan terpuji. Bukan soal gaya hidup mewah politisi. Rekayasa diri, menjadi jaim, dan tampil menjaga citranya. Bukan kewibawaan itu namanya. Kewibawaan itu pancaran dari dalam. Cahaya sejati dari seorang pemimpin, tanpa rekayasa.
Yang hilang dalam panggung politik kita termasuk keteladanan. Kiranya para politisi kembali mengambilnya. Keteladanan yang mulai tergerus karena politik uang. Cara berpolitik yang amoral. Masyarakat membutuhkan politisi yang menjadi teladan, lahir dan batin.
Meski ada, tidak banyak politisi yang sukses memberi keteladanan saat ini. Keteladanan itu menyatu dalam kewibawaan, tidak bisa dibisa. Publik menjadikan seorang politisi sebagai teladannya karena ia dinilai berhasil menunjukkan kewibawaan. Layak ditiru. Kebiwaan baik ucapan, keberpihakan dan sikap.
Cinta, politik dan kegilaan sebetulnya satu paket. Jika kita mencapture dari aspek gagasan, saling berkait. Pada konteks praktis, memang sering melahirkan persoalan. Seyogyanya, cinta politik bersama kegilaan menyatu untuk menopang pembangunan. Kegilaan yang merupakan kewarasan yang berubah wujud ini, kalau dikelola akan berbuah manis.
Sulit rasanya kita melahirkan harmoni. Ketika cinta politik lalu kegilaan berbentur, atau terbentur. Seperti sistem masyarakat tanpa kelas yang dicita-citakan Karl Marx, sukar terwujud. Masyarakat proletar dan borjuis akan melakukan dialektika hingga melahirkan masyarakat tanpa kelas. Ujungnya, kelas tetap saja ada.
Bermula dari kata-kata, cinta politik dan kegilaan terlahir. Perlu adanya keseimbangan, irama yang setara. Ketimpangan harus dijauhkan. Cinta dalam politik harus diikat betul. Nafas politisi harus penuh cinta, yang kemudian mengilhami masyarakat agar hidup rukun. Dengan begitu, kegilaan yang negatif dan kotor, hilang dari aktivitas atau praktek para politisi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H