Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Imperialisme Kultural, Indonesia dalam Bahaya

21 Oktober 2019   10:01 Diperbarui: 21 Oktober 2019   12:57 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

DALAM dimensi yang luas, kemajuan harus terus dipacu. Seiring bergeraknya perkembangan, ada hal penting yang patut dipertahankan. Itulah local wisdom (kearifan lokal). Kalau kearifan lokal sebuah negeri hilang, maka akan terlahir generasi tanpa identitas.

Hilangnya kebudayaan. Seperti 'ayam tanpa kepala' dalam istilah Prof Jacob Elfinus Sahetapi. Ucapan yang memiliki nilai filosofis, meski Prof Sahetapi mengalamatkan itu kepada keteladanan politisi. Tapi, dalam konteks kebudayaan kita juga mulai redup keteladanan.

Ketahanan budaya menjadi begitu penting. Artinya, jika manusia Indonesia menjadi tak berbudaya, berarti tak ada bedanya kita dengan hewan. Amat pentingnya kehidupan berbudaya itu bagi kita. Sementara tantangan kita dalam menjaga dan mempertahankan budaya ditengah gempuran globalisasi tidak mudah.

Konteks Indonesia saat ini bukan lagi imperialisme kultural (penjajahan budaya) memasuki gerbang. Melainkan telah kedalam pekarangan masyarakat. Bahkan kadang mengganggu kenyamanan suami dan istri ditempat tidur. Implikasi dari penjajahan budaya ini begitu terasa.

Sampai dikasur dan dampur pengaruhnya dirasakan. Contoh perceraian, kekerasan dalam rumah tangga, perselingkuhan juga menjadi bagian dari contoh penjajahan cultural yang masuk melalui era digital. Pengaruh media sosial (Facebook, Twitter, IG, dan lainnya).

Ekses negatifnya betul-bentul mengganggu kenyamanan kita. Imperialisme cultural kalau dipetakan, bisa menjadi bagian dari infiltrasi kebudayaan barat (Asing) terhadap budaya kita di Indonesia. Kita yang terbiasa mengedepankan adab, solidaritas atau gotong royong, lambat laun menurun tradisi itu.  

Masyarakat modern rupanya lebih nyaman menggenggap handphone. Bermain game atau mengakses sosial media ketimbang saling silaturahmi. Saling kunjung mengunjungi, tegur sapa dan memberi sesuatu meski dalam berkekurangan, jarang terlihat lagi.

Padahal dahulu, itu menjadi kearifan lokal kita orang Indonesia. Generasi hari ini ditinggalkan warisan leluhur dengan hidup apa adanya. Bukan ada apanya. Begitu natural, tidak muluk-muluk, tidak ribet. Masuknya kebudayaan Asing, membuat kita kehilangan pegangan berbudaya.

Di kampus atau sekolah, mereka lebih cenderung menggapai proses yang instan. Kebiasaan membeli buku, perpusatakaan pribadi, membeli buku dan membaca rasanya kurang terlihat. Mereka senang mengakses internet untuk mencari tugas yang diberikan dosen atau guru.

Keakraban sosial pun terancam. Kita dicekoki informasi destruktif, sehingga pergaulan sosial penuh kecaman. Praktek main hakim sendiri, watak anarkisme diambil sebagai pilihan untuk selesaikan masalah. Tanpa sadar, peradaban kita ditarik mundur ke zaman bar-bar.

Zaman konservatif, primitif, yang segala pendekatan sosial dilakukan dengan mengutamakan kekuatan fisik. Hukum rimba diberlakukan, hukum formal diabaikan. Segeralah kembali pulang kita semau. Rebut ulang kearifan lokal yang nyaris punah, warisan agung para leluhur.

Kita mengalami krisis keteladanan yang akut. Di ruang pergaulan sosial yang luas, peran orang tua seperti kurang dapat diandalkan. Tidak lagi menjadi penentu. Kejadian yang tidak wajar telah disebarkan luas di internet, soal pemukulan anak terhadap orang tua.

Dan kasus asusila oknum orang tua, terhadap anak, juga menjadi pengalaman buruk yang mereduksi keteladanan orang tua. Semua dipertontonkan media massa, sampah dan racun pergaulan yang buruk ini menambah memori kolektif masyarakat hari ini. Hasilnya, transfer kejahatan dianggap hal biasa.

Penjajahan budaya harus dihentikan. Media mainstream dan media massa lain perlu mengurangi konten informasi yang tidak mendidik. Mengurangi tayangan-tayangan yang menghancurkan mental anak bangsa. Jangan hanya berorientasi profit, lalu memberi imbas negatif terhadap generasi kita.

Pemerintah harus melirik ini sebagai ancaman serius. Untuk kemudian, dihentikan secara tegas. Ketika masih ada kelonggaran, maka penjajahan budaya ini akan massif menjadi mesin pemusnah missal bagi generasi Indonesia saat ini maupun yang akan datang.

Disana beredar invasi intelektual, cuci otak dan tukar guling kebudayaan atau hubungan gelap kebudayaan. Ketika dibiarkan, kemudian bergerak tanpa batas. Berarti kita akan menunggu ajal, etika dan moral hanya tinggal namal. Praktek untuk itu tidak lagi dilakukan.

Semua bisa jadi dibungkus dengan alasa modernitas. Kemajuan maupun demokrasi, HAM, serta alasan-alasan humanisme, padahal ada agenda terselubung. Ada kepentingan yang diselundupkan dibalik tema-tema besar tersebut. Diantaranya ialah penjajahan budaya.  

Kita sudah senang dengan meniru budaya Barat. Lalu mulai melupakan budaya warisan leluhur. Generasi kita menjadi hedon dan konsumtif, itu juga karena konstruksi budaya Asing. Tidak bisa dipungkiri memang. Pemerintah akan sulit mengatasi problem yang rumit nantinya, bila akarnya tak diberantas.

Ya, akar persoalan bangsa ini salah satunya adalah karena penjajahan budaya. Pemikiran tentang teroris dan radikal, juga bisa direlevansikan dengan masuknya budaya Asing. Kalau kita korek sejarah, para leluhur kita tidak pernah mengajarkan permusuhan atau terror.

Makin jernih tentu kita dalam membaca perkembangan saat ini. Atas terjdinya penyerangan terhadap budaya, membuat masyarakat kita tidak kompak lagi. Ancaman ini perlu dideteksi, jangan sampai eksis dan masuk menggerogoti pemimpin-pemimpin kita di Indonesia.

Sinyalemen dan indikasi penjajahan budaya Indonesia oleh budaya Asing mulai dipenetrasikan melalui prodak regulasi. Perlu kita mencegatnya, jangan buat pembiaran. Jangan tertawa, lalu menilai fenomena ini biasa saja. Sungguh, ini ancaman yang nyata dan serius terhadap keutuhan Indonesia.

Kekerasan kebudayaan dan penyerangan budaya akan terus dilakukan, sampai kita lelah. Itu sebabnya pemerintah, segenap masyarakat Indonesia jangan lengah. Kita juga tidak boleh mudah tergoda atas buju rayu dan tawaran, lantas berdiam diri melihat kehancuran budaya dilakukan dengan intens.

Pengrusakan budaya merupakan kejahatan yang perlu dilawan. Kali ini bukan tontonan parade kolosal, kita sedang disandera dan diserang. Inilah strategi perang asimetris yang dipakai untuk lumpuhkan Indonesia. Masyarakat harus diselamatkan dengan edukasi. Kementerian terkait perlu lebih aktif lagi.

Lakukan pendidikan yang menumbuhkan rasa cinta terhadap budaya. Kita masyarakat Indonesia harus bangga dengan budaya sendiri yang original. Cara-cara perayaan kegiatan kenegaraan yang menampilkan pakaian adat sebagai simbol budaya kita hormati. Meski ini belum membudaya.

Masih ada kesan seremonial, dan dipaksakan. Harusnya diperbanyak pelatihan dan pendidikan yang melawan praktek kebudayaan Asing. Pemerintah memang tak boleh lepas tangan untuk urusan ini. Sembari memberikan pembinaan untuk orang tua.

Agar tidak memberikan kebebasan kepada anak-anakanya untuk mengakses internet diusia yang belum selayaknya mereka mengakses internet. Akses internet terlalu mencolok menampilkan konten porno, berita tidak mendidik, intinya semua pilihan tersaji tanpa batas disana.

Salah satu serangan penghancuran budaya juga dari sini datangnya. Akhirnya generasi kita senang mengimitasi budaya Asing ketimbang budaya sendiri. Baik dalam pergaulannya, seperti gaya rambut, pakai anting bagi laki-laki, dan sejenis pergaulan yang tidak elok lainnya.

Budaya donor memang lembut memberi efek. Tapi, dampak yang ditimbulkan tidak main-main. Menyerang pikiran, sehingga hal itu menjadi gaya hidup generasi hari ini. Selain konsumtif, generasi kita menjadi malas belajar. Apalagi belajar dari buku literatur, sudah jarang.

Berdasarkan identifikasi, imperialisme cultural merupakan wujud hegemoni budaya, ekonomi, teknologi dan budaya dari Negara-negara industri yang akhirnya membuat dunia diluarnya terpengaruh. Lalu kehilangan identitas. Hilang akan kebudayaan aslinya, targetnya tentu penguasaan.

Inilah model penjajahan gaya baru. Imperialisme budaya penuh dengan propaganda. Bukan lagi dilakukan dengan tekanan dan peperangan fisik, tapi menyerang pikiran serta gaya hidup. Agen Asing mempromosi budaya yang dibangun atas kepentingan menguasai. 

Budaya import muncul seolah menawarkan solusi ditengah ketidaksiapan kita. Padahal, mereka membawa agenda ganda. Sebaiknya, kita berdiri memperkuat budaya lokal. Bukan menjadi pengikut kaum Asing. [*]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun