MATINYA kepakaran merupakan suatu narasi yang padat berisi. Luas maknanya, ulasan dari Tom Nichols, penulis buku 'The Death Of Expertise' perlawanan terhadap pengetahuan yang telah mapan dan mudharatnya.
Di era informasi seperti sekarang berdasarkan uraian Tom bahwa bagaimana pendapat yang salah dianggap sebagai kebenaran. Mereka yang pakar pun kurang mendapat tempat idealnya.
Parahnya pihak-pihak yang seharusnya memberikan pencerahan seperti akademisi, media dan pakar sendiri memiliki andil dalam membunuh kepakaran. Keilmuan dan pandangan terkait disiplin pengetahuan menjadi yang tidak urgen saat ini.
Penjelasan pakar tidak didengar, melainkan mereka yang lebih banyak pengikutnya yang pikiran dan pertimbangan-pertimbangannya didengar. Bahkan kadang ditaati. Melalui interaksi sosial yang luas, hal-hal yang didapatkan di ruang formal menjadi nihil nilainya.
Realitasnya, banyak orang yang menjadi pakar dadakan. Kaum terdidik pun kadang terbawa sirkulasi pemikiran tersebut. Tradisi menjaga kepakaran atau kompetensi professional mulai meredup.
Lebih digemari malah pemikiran yang berwujud asumsi dan spekulasi. Dari pada pandangan seorang pakar terhadap pengetahuan yang digelutinya. Menurunkan kesadaran ini lantaran dipengaruhi dari banyaknya pakar menggadaikan (mengkomersialkan) kepakarannya.
Lahirnya mereka yang tidak pakar dibidangnya. Hanya mengetahui sedikit tentang hal terkait. Lalu berbicara vokal, bersikap seolah-olah paling pakar dibidang keilmuan tersebut. Hasilnya, rekayasa, abal-abal, dan gagal paham yang terjadi.
Kalau diamati di Indonesia termasuk kita diuji kondisi matinya kepakaran. Dimana ada pakar politik atau Guru Besar yang ketika diduga telah berafiliasi politik, maka seluruh pandangan-pandangan politiknya dianggap tendensius. Kemudian, publik menjadi tidak percaya dengan apa yang disampaikan.
Sering juga pakar yang benar-benar original pikirannya dalam bidang keilmuan tertentu tidak terterima. Memberi pendapat kurang didengar. Bahkan diragukan karena berbeda pilihan politik. Menjadi ironi, semua terperangkap pada relatifisme dan skeptisisme.
Dunia seperti terbalik. Yang bukan pakar berbicara lantang, seolah-olah dia pakar. Dan dipercaya, hanya karena dia memiliki relasi sosial atau ikatan kepentingan yang kuat. Fenomena itu ditopang pula dengan kegemaran kita yang kadang lebih menginginkan membaca atau melakoni banyak hal.
Walaupun hasilnya tak maksimal. Ada semacam kebanggaan orang Indonesia, karena dipandang mengetahui banyak hal. Ternyata yang diketahui itu setengah-setengah saja, tidak holistik. Bagi pakar, studi spesifik dan melakukan sesuatu sesuai bidang keahlian adalah yang paling mulia.
Bukan berobsesi mengetahui banyak hal, tapi tidak tuntas. Lalu berlagak seperti pakar yang serba tahu. Kepakaran tereduksi karena juga kebiasaan tersebut. Terjadinya hegemoni atau penguasaan intelektual.
Lain lagi problemnya, terkadang para pakar mengarahkan kepakaran bukan pada pengabdian. Harusnya para pakar mengkontribusikan keahliannya itu dengan pengabdian kepada masyarakat. Ladang pengamalannya adalah memberi diri kepada masyarakat.
Jangan semua kepakaran juga digadaikan. Sebagai wujud otokritik, kepakaran hilang karena seringnya pakar memanfaatkan kepakaran untuk orientasi profit. Keilmuan menjadi sekedar barang dagangan.
Bila terus dilakukan seperti itu, yakinlah para pakar akan hilang. Keberadaan mereka diganti 'dukung kampung'. Lihat saja gejala sekarang ini. Dokter yang mengobati penyakit saja kadang persaingan mereka sudah bukan sesama dokter. Melainkan dukun atau paranormal. Â Â
Pengetahuan mistik dalam situasi runtuhnya kepakaran ini, membuat kehadiran mereka diperlukan paranormal begitu berharga. Apalagi, supranatural dan spiritual sebagai sesuatu yang diyakini semua pemeluk agama. Legitimasi mereka ditengah masyarakat pun diakui.
Maka berhati-hatilah para pakar seperti Guru Besar dan jebolan institusi pendidikan formal. Bisa jadi seperti para konsultan politik, tukang survey, pakar politik, kalau tak mampu menjaga trust maka akan dikalahkan paranormal yang tau menerawang masa depan.
Paranormal pandai meramal. Kalau ahli politik tidak akurat membaca dinamika politik, masa berpeluang kalah dengan tukang ramal. Seperti itu pula ancaman bagi pakar dibidang keilmuan lainnya. Suatu ketika jika professional dan konsen, maka tercerabut kepakarannya. Dikalahkan.
Tanda-tanda perkembangan seperti ini sebetulnya mengkhawatirkan. Bukan lelucon untuk ditertawakan, tapi ancaman terhadap ilmu pengetahuan ilmiah. Mereka yang berstudi di Perguruan Tinggi, boleh saja kalah bersaing dengan para 'tukang santen' yang bersemedi di gua-gua.
Kita berharap kompetisi menjadi berperikemanusiaan. Setara dan sesuai kebutuhan zaman. Semua kebaikan bergerak pada porosnya. Para pakar pun begitu, kembali pada zonanya. Menjaga otentitas, marwah dan ranahnya, tidak perlu keluar jalur kepakaran.
Karena ketika semua berjalan tertib. Perubahan kita menuju pada perbaikan peradaban, bukan penghancuran. Kita berlomba-lomba untuk kebaikan. Yang pakar tetaplah menjadi pakar, menggeluti kepakarannya.
Publik pun begitu, harus meningkatkan kepercayaannya pada pakar. Pakar akan punah kepekarannya kalau tidak mendapat pengakuan dimasyarakat. Akhir kata, kepakaran harus ditopang, diberi apresiasi. Keliru juga kalau kepakaran hanya mau dikomersialisi.Â
Begitu juga hegemoni intelektual memiliki kaitan erat dengan relasi kekuasaan. Pada aspek penguasaan kaum intelektual semua bermuara. Baik pada penelitian, pencerahan publik melalui pengamalan intelektual atau pengabdian kepada pemerintah. Hegemoni intelektual kini lebih dominan ke wilayah kapitalis.Â
Penguasaan intelektual melemah karena terbukanya ruang liberalisasi. Kompetisi begitu luas, mudah dan kompleks. Kaum intelektual kadang dikalahkan mereka yang bukan inetelektual. Hasilnya pengaruh intelektual melemah. Meraka publik figur kadang bukan intelektual, tapi memiliki pengaruh luas.[*]
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI