Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi di Tengah Dua Faksi Politik

15 Oktober 2019   07:56 Diperbarui: 18 Oktober 2019   07:05 440
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

MAKIN menarik kita menyaksikan peta politik Nasional saat ini. Betapa tidak, politik kubu-kubuan di Indonesia kian berkembang. Pasca Pemilu 2019 rupanya performa politik kita menampilkan pesona memukau.

Setelah terpilih Joko Widodo-Ma'ruf Amin dinamika politik kita makin mencair. Prabowo Subianto pun mulai rajin melakukan safari politik.

Presiden dan Wakil Presiden Indonesia periode 2019 - 2024 rupanya menggoda kubu partai politik untuk beraksi. Tak lepas dari plus-minus, silaturahmi politik umumnya positif dan menyehatkan demokrasi.

Jokowi sapaan akrab Widodo seperti 'terhimpit' dalam pusaran politik. Santer terdengar ada kubu "rekonsiliasi" dan faksi "jenderal merah" yang masing-masing memiliki power politik.

Membaca peta politik tersebut, rasanya ada rebutan pengaruh. Tentu targetnya adalah siapa yang lebih membuat nyaman Jokowi dalam akomodasi kepentingan. Penguatan kepentingan Jokowi tentu yang utama. Sebagai pemenang Pilpres Jokowi menjadi magnet bagi segala macam kelompok kepentingan.

Politisi yang sebelumnya saling sindir dan perang statemen, kini saling mengunjungi. Urusannya apa?, ya tak lain yaitu saling menguatkan. Begitulah politik, tidak ada permusuhan yang abadi. Bagi politisi sejati, kepentingan merupakan segalanya. Rivalitas politik akan mencair dalam perkawanan, begitu pun sebaliknya. Perkawanan dalam politik bisa terbela dalam konflik kepentingan.

Artinya tak ada pertengkaran dan pertemanan yang abadi dalam politik. Konteks demokrasi Pancasila memberi ruang itu, dimana demi persatuan Nasional semua elemen rakyat harus bersatu. Jangan karena seteru politik solidaritas direduksi. Kebersamaan sebagai anak bangsa itu yang utama.

Selanjutnya ketika Jokowi tidak detail mengikuti dinamika politik Nasional, maka bisa digerus dua kekuatan besar tersebut. Titik kulminasi atau tanda bentur-benturan kepentingan itu terpotret dalam posisi menolak dan menerima PERPU KPK. Kehidupan politik kita memang selalu berjumpa dengan urusan korupsi. 

Itu sebabnya, RUU KPK dan PERPU KPK menjadi begitu penting. PERPU KPK yang akan dikeluarkan Presiden Jokowi sebagai pintu masuk, sekaligus bencana bagi Jokowi dalam politik di tanah air. Terlihat jelas beberapa kader parpol tertentu telah lantang menolak PERPU KPK. Sedangkan kubu lainnya sedang siapkan strategi. Bermain dibelakang layar mendukung PERPU KPK diterbitkan.

Alhasil menjadi hambar perdebatan soal kepentingan publik. Eskalasi politik Nasional jelang pelantikan Jokowi-Ma'ruf cukup memanas. Ada hegemoni, bahkan politik 'keakuan' terlihat. Terkesan Jokowi disandera atas gesekan kepentingan tersebut. Berdasarkan informasi beredar Megawati, Prabowo, Budi Gunawan, Amin Rais Cs, menyatu dalam satu gerbong.

Sedangkan di kubu sebelah ada Luhut Binsar Panjaitan, Susilo Bambang Yudhoyono, A.M Hendropriyono, Moeldoko, Wiranto Cs. Keakuratan informasi ini kita nantikan saja. Benar atau tidak, akan terkonfirmasi dalam realitas politik kedepan. Mereka para dedengkot politik dan sesepuh yang punya andil besar merubah wajah Indonesia.

Persepsi lain mencuat, lalu bagaimana dengan Prabowo, SBY dan Amin Rais yang berbeda blok politik dengan Jokowi dalam Pilpres?. Disinilah, dinamisnya komunikasi politik kita. Di politik sendiri kita mengenal istilah koalisi dan oposisi. Kompromi dan konfrontasi, ketika kepentingan politisi tidak terwadahi, biasanya mereka beroposisi.

Beberapa parpol mulai tegas melakukan manuver politik. Masuk ke dalam lingkaran koalisi Jokowi, lantas ada pula yang bersikap tegas menjadi oposisi. Semua politisi punya hak atas penentuan sikap mereka. Tentunya mereka membaca kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman terhadap masa depan politik mereka.

Setidaknya rakyat menunggu hasil manuver politik para elit parpol berimplikasi positif pada kesejahteraan mereka. Kunci dari segala bentuk komunikasi politik mendapat dukungan publik, meski ada segelintir pandangan pesimis. Tapi umumnya, rakyat terus menanti gerak politik Nasional membawa kemaslahatan bagi kepentingan umum. 

Jokowi bertemu Prabowo, tentu ada untung runginya secara politik. Setidaknya pertemuan mereka membawa nilai edukasi politik yang luar biasa. Memberikan pelajaran bahwa politik tidak mengenal permusuhan abadi, berpolitik tak perlu baper. Bukan berarti Prabowo lantas menjadi penghianat terhadap pendukungnya. Pilihan Prabowo juga wajib dihargai dan dihormati.

Sementara itu, untuk Presiden Jokowi kita optimis beliau cerdas membaca konstalasi politik Nasional. Beliau merupakan pemimpin tertinggi di Republik Indonesia tercinta, Jokowi paham betul hal substansi apa yang perlu dilakukannya. Sekeras apapun pertempuran politik, biasanya semua akan mencair dengan komunikasi politik yang satun.

Kita berdo'a untuk Presiden Jokowi agar sehat wal'afiat, diberi kebijaksanaan. Ketulusan beliau membangun Indonesia diberi bimbingan Allah SWT. Karena semua ajaran agama kita mengajarkan tentang niat baik. Ketika pemimpin memiliki niat baik, Allah memberi kemudahan. Dan sebaliknya. Kiranya Indonesia kedepan lebih berhasil membumikan keadilan sosial, kepastian hukum, kesejahteraan, ketenangan dan kemudahan. [*]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun