Urun rembugnya berjalan dinamis, banyak hal yang dibahas. Proses pemberian materi pengantar sampai tanya jawab dan masukan yang disampaikan para jurnalis dari Sulawesi Utara, patut diapresiasi. Masih ada kesempatan, panitia sesegera mungkin merilis nama-nama pemenang lomba.
Sekaligus menayangkan juga berapa peserta yang ikut, kita evaluasi terbuka. Bagaimana proses penilaian juri. Yang amat penting juga panitia harus mengklarifikasi kenapa melakukan tindakan yang inkonsisten. Soal pengumuman tanggal 10 Oktober 2019, nyatanya bukan saja pengumuman melainkan ada penganugerahan hadiah.Â
Berarti, logikanya sebelum tanggal 10 para pemenang sudah mengetahui hasilnya. Bagaimana cara mereka tahu?. Sementara, peserta lain belum mendapat informasi ini secara terbuka dan merata. Bagaimana mengukur keberhasilan lomba ini, kalau panitinya tidak transparan.
Telah beredar impresi, dimana panitia melakukan tindakan tebang pilih dan diskriminasi. Bila benar adanya kedepan ketika kompetisi ini dilakukan rutin tiap tahunnya, maka format dan personil panitia perlu diganti total. Jangan meninggalkan lagi oligarki di pusaran media, yang akhirnya memakai nama jurnalis Indonesia, tapi hanya mengambil manfaat untuk kepentingan diri sendiri.
Kita memerlukan regenerasi pers yang progresif dan terbuka. Idealnya, keterwakilan wilayah (zona), regional atau istilah yang dikategorisasi panitia 'media Nusantara' dan 'Nasional' juga diberi porsi dengan baik. Jangan hanya mereka yang sudah punya nama besar diberikan perhatian khusus dan 'karpet merah'.
Panitia perlu membaca penyebaran, spirit dan masukan pegiat literasi dari daerah. Sebagai proposal pemikiran, kedepan tiap Provinsi di Indonesia harus diberi ruang dan delegasi sebagai pemenang lomba. Kalau betul panitia mau melakukan perubahan. Sistem representasi yang proporsional harusnya menjadi parameter.Â
Agar tidak meninggalkan label buruk seperti adanya monopoli dan konspirasi dari panitia bersama juri semata. Usulan ini menegaskan independensi, objektifitas serta kemandirian panitia agar lebih profesional bekerja.
Dikarenakan kegiatan lomba ini untuk kemajuan Negara Indonesia tercinta, maka diperlukan proses yang akomodatif. Jangan melahirkan ketimpangan. Bagaimana pun semua daerah di Indonesia mau memberi kontribusi pikiran guna kemajuan Negara ini.Â
Cara kerja yang kurang profesional serta tidak transparan dari panitia menjadi poin kritik serius dalam tulisan ringan ini. Panitia menjadi medium bukan bersikap pasif, diskriminatif dan bahkan apatis ketika dikonfirmasi peserta lomba.
Akun Facebook (Fanpage) juga tidak begitu update, harusnya ini menjadi instrumen penukar informasi yang efektif bagi peserta, panitia dan publik. Postingan yang disampaikan di fanpage juga mestinya disertakan dengan respon atau menindaklanjuti segara koreksi serta saran yang disampaikan, jangan berdiam diri.Â
Gunanya panitia itu menjawab apa yang ditanya atau bahkan yang dikritik publik. Sekali lagi, ini lomba yang membawa simbol Negara (Presiden) bukan membawa malapetaka. Harap diperbaiki secara radikal mekanismenya. Selain itu juga, karena ini dana publik, indikator keberhasilannya juga harus disampaikan ke publik.