Kita mengajak KPU agar menurunkan tensi kampanye yang bersifat sarkastis (mengejek). Usulan KPU untuk urusan yang satu ini perlu diinterupsi, tidak perlu lagi KPU menceburkan diri dalam larangan para calon Kepala Daerah yang pemabuk, berzina dan penjudi agar tidak lagi ikut berkompetisi dalam Pilkada. Ini bertanda KPU mulai otoriter dalam mengelola sistem demokrasi. Ingat, jangan sampai KPU dianggap membuat lelucon politik.
Terbuka saja kita evaluasi dalam berbagai kegiatan reportase, penyebab lahirnya pemimpin yang tidak dikehendaki publik utamanya karena maraknya politik uang. Itu sebetulnya bahaya dan ancaman demokrasi, bukan terskema pada mereka yang pernah menjadi pemabuk, penzinah dan penjudi. Diksi yang berpotensi mereduksi nilai demokrasi mestinya ditiadakan. Jangan sampai kita terjebak pada rumusan seperti yang disampaikan Hannah Arendt tentang banalitas kejahatan yaitu kejahatan dirasa seperti bukan lagi sebuah kejahatan.
Tentu kita meminta KPU tidak menyumpat kebebasan berdemokrasi masyarakat. Membuat aturan itu orientasinya mengatur, bukan membatasi. Biarkan masyarakat diberi ruang memilih pemimpinannya, dengan mekanisme seleksi kepemimpinan yang terbuka. Kurang elok rasanya KPU akhirnya berperan membatasi ruang, menjegal dan memilah calon pemimpin pada standar yang tidak mendesak. Apalagi, kanal yang dipaksakan KPU untuk diterapkan hanya bersifat tendensius, tidak universal.
Syarat Kepala Daerah yang bebas dari praktek seperti pemabuk, penzina, dan penjudi juga tidak mampu mengontrol para calon pemimpin itu lantas menjadi 'orang suci'. Kemudian setelahnya mereka berubah, Kepala Daerah akan tegak lurus, tentu tak semudah itu. Ranah kerja KPU memberikan kriteria yang umum saja. Jangan terlampau spesifik dan privat, karena akan banyak lagi tuntutan serta perdebatannya yang bisa saja balik melemahkan KPU. Boleh jadi akan berdatangan hal-hal pribadi lain yang diajukan publik sehingga KPU kesulitan mengakomodir seluruhnya.
Nah bagaimana soal calon Kepala Daerah yang pindah agama?. Kentalnya politik pragmatis. Sumber petaka demokrasi lainnya pun perlu penanganan serius. Kalau KPU tidak gamang dalam memisahkan urusan yang ada, maka demokrasi kita akan baik-baik saja, tidak ada lagi keributan yang berarti. Secara politik, rincian 'pelarangan' ini menuai respon sekaligus penolakan publik. karena selain bermakna abstrak, multi tafir bisa pula arahnya dapat dikategorikan melabrak aturan diatasnya. Biarlah urusan itu masuk pada poin etika kepemimpinan, tak perlu KPU itu intervensi. Lebih berguna mengoptimalkan yang ada, dari pada berbuat bid'ah.
Meredam politik identitas perlu disertai tata cara yang tepat. Mereka yang koruptif, perusak demokrasi yang layak diwaspadai, perlu rumusan bongkar-tata dan pasang bangun yang pas. Jangan KPU terjebak pada siklus urusan-urusan privasi, lantas mengabaikan tugas yang lebih penting. Lebih mulia menjalankan dengan maksimal aturan yang ada, perbaikan dan revaluasi semua sendi-sendi program KPU yang belum berjalan baik. Untuk kemudian, dioptimalkan dan diperbaiki dengan kerja nyata, terukur, berjenjang serta sistematis.
Rekonstruksi paradigma KPU perlu dilakukan agar 'mesin' independen ini bekerja menyuburkan demokrasi. Motivasi, perhatian bekerja sungguh-sungguh dan mendesain aturan yang relevan. Selaras dengan jiwa demokrasi, bukan yang menyulitkan publik atau terkesan memasuk hak demokrasi individu. Perlu diingat, tugas memilih pemimpin itu wewenangnya masyarakat, KPU tidak ikut-ikutan mengintervensi sampai ke hal yang sangat teknis.
KPU yang mula-mula berorientasi kejar tayang program, kini harus lebih bersifat membangkit partisipasi. Bekerja hanya dengan tujuan menghabiskan pagu anggaran yang telah tersedia. Tidak sebatas memenuhi laporan akuntabilitas seharusnya. KPU dalam kinerjanya harus bisa menempatkan mitra atau masyarakat sebagai elemen penentu keberhasilan kerja dengan membuka ruang kerja-kerja kolektif. Rasanya kurang tepat bila capaian partisipasi tiap Pilkada hanya pada banyak pemilih, tapi untuk mengartikulasi program KPU menjadi kurang tergarap dengan baik. Kedepan harus diperkuat, agar KPU setelah periodesasi kerja melahirkan kontribusi yang terukur dalam hal partisipasi publik.Â
Ketika KPU menaruh poin yang menghambat karir seseorang dalam politik, bisa berarti KPU mengambil peran memusnahkan dan menghancurkan karir para politisi. Ke depan kita berharap KPU berfikir hal yang produktif, yang bersifat jangka panjang dan konstruktif. Insiden penyembelihan hak demokrasi masyarakat (calon pemimpin) mestinya tidak dilakukan KPU secara sporadis. [*]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H