Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Literasi progresif

Pegiat Literasi dan penikmat buku politik

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Generasi Terkutuk, Pesan Leluhur Dipersoalkan

6 Desember 2024   07:12 Diperbarui: 8 Desember 2024   12:18 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KATA Georg Wilhelm Friedrich Hegel, bahwa perlakuan paling konyol yang sering diterima sejarah adalah manusia tak pernah mau belajar darinya. Apakah kita generasi Maluku Utara telah menjadi pelupa tidak belajar dari sejarah seperti yang diingatkan Hegel?. Lantas durhaka, bersikap tak sopan. Mempersoalkan pesan leluhur. Nilai keteladanan dianggap teror, negatif, dan lelucon. 

Hingga didiskreditkan sejarah itu. Ya, karena birahi dan hasrat politik telah merasuki mereka. Lalu menggila, tafsir sesuka hati terhadap kata-kata pesan moral para leluhur. Menggugat ungkapan kemanusiaan dari para pendahulu, bagi saya itu biadab. Generasi yang berfikir dangkal terkait sejarah. Ingatannya rapuh. Ungkapan yang memantik persatuan dianggapnya provokasi pecah-belah. Konyol.

Mereka menunjukkan kebodohan. Ketidaksukaan pada pesan leluhur dengan mempermasalahkan Sultan Tidore, Haji Husain Alting Sjah, calon Gubernur Maluku Utara yang mengutip pesan Sultan Nuku dalam Debat belum lama ini. Suatu kegilaan yang riskan.

Perilaku dan mentalitas penindas ala kolonial ditunjukkan dengan mempermasalahkan kebebasan berfikir. Ini buka era Orde baru (Orba) yang otoriter dan anti kritik. Jangan bawa reformasi menjadi downgrade. Orba ditumbangkan karena otoritarian, rakus, dominan, menindas, dan memberangus kebebasan. Itu  yang perlu diketahui. Cara represi seharusnya tidak berlaku lagi. 

Sekarang kita telah merdeka. Jangan gunakan cara dari para penjajah yang bajingan untuk menekan Sultan Tidore. Pendekatan yang tidak presisi dibangun sekelompok orang untuk "memangkas" alur sejarah.

Bila leluhur kita masih hidup, mereka akan menangis. Melihat satu dua generasi yang menggugat ucapan Sultan Nuku. Kalian pasti dikutuk sejarah. Yakinlah, sikap tak menghormati sejarah itu akan berdampak buruk. Pesan yang disampaikan Sultan Tidore ke-37 harusnya diapresiasi dan dihormati.

Jangan gunakan sikap barbar ''banga-banga''. Kurang ajar ''tingkai'', yang sok jagoan dengan melaporkan figur yang punya keistimewaan sejarah seperti Sultan. Ini menjadi bukti kalian melukai banyak orang seperti melecehkan. Tidak selamanya hukum di negara ini dapat kalian kendalikan karena uang (harta).

Tak boleh bermental inlander. Namun bukan harus menjadi kolonial. Jangan menjadi penjajah baru bagi anak negeri sendiri. Jangan jumawa, arogan, dan bersikap melampaui batas karena politik. Alam raya akan bekerja menghabisi kalian yang arogan itu. Pilgub Malut tahun 2024, bisa menjadi titik balik (the turning point) bagi kita semua karena keretakan sosial akibat politik uang.

Rata-rata, mereka yang berwatak haus kuasa merasa punya backing dan backup yang disupport penegak hukum. Dalam banyak kasus pola ini dimainkan para pengusaha. Mereka yang diasuh oligarki, para pemilik modal. Yang sesukanya mengakali aturan di negara ini.

Kita bisa tengok. Era pasca Soeharto yang ditandai dengan tumbangnya rezim diktator otoriter 21 Mei 1998, membuat masyarakat bebas mengekspresikan pendapatnya. Seperti diatur dan dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 28E, dan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999, tentang Hak Asasi Manusia.

Yaitu kebebasan berpendapat, berserikat, dan berkumpul. Kemudian, menjamin dan melindungi kebebasan berpendapat, termasuk hak mogok. Artinya yang namanya pikiran, tidak boleh dipidanakan atau diadili secara hukum. Tidak boleh menjadi dungu, reaksioner dengan memproses hukum lawan debat atau lawan bicara.

Siklus pergantian kekuasaan yang tidak lazim pernah kita lewati, yaitu melalui kudeta atau penggulingan pemimpin secara paksa telah pernah tercatat dalam sejarah kita bernegara. Watak aparat negara harusnya lebih inklusif melayani, dan mengayomi. Bukan melakukan pressure, intimidasi, dan memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan politik praktis.

Ya, harus diakui masih ada diantara kita yang alergi dengan perbedaan pendapat atau demonstrasi (unjuk rasa). Pada anti perbedaan pikiran itu sikap anti demokrasi. Perbedaan pikiran idealnya tidak bisa dilawan dengan hukum. Kalau melawan pikiran orang lain, silahkan dengan pikiran bukan menggunakan hukum.

Jangan kita mau menjadi orang bodoh yang bertengkar dengan perbedaan. Agar tidak salah jalan, seseorang yang sering tersinggung, merasa didzalimi harus mendidik pikiran, dan mendidik hatinya. Tanpa mendidik hati adalah bukan pendidikan sama sekali. Tidak sedikit pertengkaran, keributan, pertentangan terjadi penyebabnya karena pikiran dan hati kita tidak dididik dengan baik.

Masuk ke bagian krusial yang jadi tujuan utama tulisan kecil ini dibuat. Saya memberi perhatian pada konteks kutipan Sultan Tidore, Haji Husain Alting Sjah, yang dipersoalkan. Ya, bisa jadi mereka pihak yang tak mengerti sejarah Malut. Akar dan kedalaman pemahaman sejarahnya dangkal. Sang Sultan dalam Debat calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur Provinsi Maluku Utara menyampaikan terkait Ifa no cou lada, lada ngone mancia ua (jangan pernah engkau bersekutu dengan kejahatan), itu untuk menumbuhkan semangat persatuan lokalitas kita.

Bukan seperti yang kalian tuduhkan tentang ''ujaran kebencian''. Janganlah menjadi generasi yang reaksioner. Bayangkan saja sikap dungu dan kegilaan menggugat segala pesan-pesan moral juga pesan kemanusiaan para leluhur di negeri yang kalian lakukan ketika ditirukan generasi mendatang. Apa jadinya?. Itu sebabnya, tak boleh berfikir sejengkal, dua jengkal.

Dari banyaknya materi Debat yang disampaikan, kelian mencari cela untuk mempersoalkan ungkapan tersebut. Kutipan Ifa no cou lada, lada ngone mancia ua tidak parsial. Tolol bukan?. Bagi saya ini sikap konyol. Melaporkan Sultan ke Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) terkait hal tersebut merupakan tindakan dungu. 

Kalian berdalih ''ujaran kebencian'' bernuansa sentimen Suku Agama Rasa dan Antar golongan (SARA). Bagi kita yang waras dan benar-benar warga pribumi, asli Maluku Utara pasti senang dengan ungkapan bijak para leluhur. Bukan mencibir apalagi mempermasalahkannya. 

Mereka mementaskan paradigma lama ala kolonial. Cara kolonial ini pernah dipraktikkan rezim Orba, sungguh tak relevan lagi digunakan. Menyikapi dinamika Pilkada Serentak 2024 di Provinsi Maluku Utara, saya menganggap ada yang pikun sejarah, bahkan mereka buta sejarah. Ada kejanggalan, ada manuver politik yang masif dilakukan di Malut. Boleh jadi, karena kepanikan dan ketakutan tertentu.

Mulai dari pendaftaran pasangan calon Gubernur Malut. Tahapan kampanye, debat kandidat, proses pencoblosan, hingga rekapitulasi suara terjadi gonjang-ganjing. Berbagai peristiwa politik yang muncul bukan dadakan atau bersifat kebetulan. Melainkan itu merupakan by design. Ada order politik dan request tertentu. Akibatkan nasib masyarakat akan dilanda prahara.

Lagi ramai, dikit-dikit proses hukum. Terbaru, dalam berita online Detik.com, Selasa, 26 November 2024 memuat berita dengan judul ''Cagub Malut Husain Sjah Dilaporkan ke Bawaslu Soal Nuansa SARA Saat Debat''. Husain Alting Sjah yang juga Sultan Tidore dituduh melakukan ujaran kebencian berbau SARA.

Hanya karena menyampaikan kutipan pesan kemanusiaan dari Sultan Nuku yakni ''Ifa no cou lada, lada ngone mancia ua'', Sultan Tidore dilaporkan Tim Hukum paslon Gubernur Nomor Urut 4 Sherly-Sabrin. Juga dipermasalahkan gerombolan orang yang menyebut namanya Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu (GRIB) ke Bawaslu Provinsi Malut.

Kok bisa pesan moral, warisan para leluhur dipermasalahkan?. Generasi macam apa yang menggugat ungkapan bijak, penuh motivasi, dan membangkitkan patriotisme untuk warga Malut dianggap ujaran kebencian?. Bagi Sultan Tidore Husain Sjah, bentuk penjajahan itu bukan karena warna kulit, atau orang perorang, tetapi itu merupakan sifat dan karakter.

Nuku sangat khawatir jangan sampai kondisi itu menjadi bawaan ke anak cucu saat ini. Sehingga penegasan bahwa jangan bersekutu dengan kejahatan perlu terus-menerus didengungkan. Fiks mereka tak mengerti sejarah.

Selain ahistoris terhadap perkembangan, akar sejarah Maluku Utara mereka rapuh, sangat minus terhadap penghormatan kepada para leluhur. Malut itu daerah para Raja (Sultan). Simbol dari perlawanan terhadap kaum kolonial seperti Portugis, Spanyol, dan Belanda. Artinya, sejarah kita merupakan sejarah perlawanan atas penindasan.

Kita di Maluku Utara pernah menggapai masa keemasan. Merdeka melawan kesewenang-wenangan penjajah. Yang mempersoalkan pesan leluhur benar-benar buta sejarah. Sepertinya mereka lupa, Moloku Kie Raha itu sebutan untuk empat Kesultanan di Maluku Utara (Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan).

Maluku Kie Raha sejak tahun 1322 sudah mapan sebagai pemerintah berbentuk konfederasi. Kita dikenal dengan sebutan ''empat gunung besar''. Kini ada segerombolan orang yang punya modal besar (kapitalis) mau mengacak-acak daerah sejarah yang menjadi ''mahkota'' bagi kita semua. Mulailah politik pecah belah dan agitasi dilakukan. Para tokoh dibenturkan, dibuat peta konflik. Sesama tokoh masyarakat seperti diadu.

Sekedar diketahui, GRIB terinformasi memiliki afiliasi dengan Cagub Nomor Urut 4 Sherly Tjoanda - Sabrin Sehe. Apakah ini benar?. Kalau benar, berarti laporan yang mereka sampaikan ke Gakkumdu murni intimidasi politik, itu model operasi politik yang kerap dipamerkan pihak-pihak yang merasa kuat.

Dalam strategi politik, di balik situasi kisruh ada manuver dan negosiasi politik yang dibangun. Konspirasi dan politik kompensasi berpotensi dilakukan. Masyarakat Malut perlu mewaspadai move yang dilakukan itu. Bahkan, boleh jadi situasi pasca Pilgub Malut dimanfaatkan kelompok kepentingan tertentu.

Saya sepakat 100% dengan apa yang disampaikan Sultan Tidore. Ketika didatangi Gakkumdu Malut di kediaman Sultan, Selasa, 3 Desember 2024, beliau berpesan dan meminta agar penegak hukum bersikap adil. Tak hanya itu, Sultan Tidore mengatakan kalau bukan orang Maluku Utara pasti tidak memahami kalimat yang dipolemikkan tersebut.

''Jadi kalau bukan orang Maluku Utara pasti tidak paham kalimat itu. Saya pikir anggota Bawaslu adalah orang-orang yang lahir dari Bumi Moloku Kie Raha, dan mereka paham dengan makna itu. Tetapi laporan itu ditindaklanjuti.

Semestinya kan sebelum menindaklanjuti, mereka harus telusuri dan kajian dulu. Apakah laporan itu sesuai atau tidak? Dan yang melaporkan ini tahu atau tidak tentang laporannya? Nah, kalau tidak tahu dan tidak mengenal sejarah Moloku Kie Raha, makanya jangan ditindaklanjuti,'' ujar Sultan Tidore, Husain Sjah yang dikutip dari media online Cermat.co.id.

Ketika tidak disikapi munculnya generasi yang buta sejarah, dan mengalami krisis identitas seperti yang ditunjukkan mereka yang menggugat pesan kemanusiaan para leluhur maka akan datang bencana di negeri kita Maluku Utar. Kita berharap kelas menengah mampu hadir mewarnai pemikiran publik, menciptakan legacy yang baik untuk dikenang generasi mendatang. 

Jangan sampai kita gagal, kemudian melahirkan generasi yang mengalami patahan sejarah. Generasi yang lebih mengagumi modernitas ketimbang kearifan lokal. Inilah ancaman tercerabut budaya. Kita yang mengaku pribumi, tapi kehilangan identitas lokalitas. 

Maluku Utara di masa mendatang mesti lebih diperkuat akar-akar sejarahnya. Menghormati kearifan lokal. Bukan dibumihanguskan. Jangan sejarah agung daerah ini kita gadaikan atas nama kekuasaan dan uang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun