Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Literasi progresif

Pegiat Literasi dan penikmat buku politik

Selanjutnya

Tutup

Politik

KPU Malut dalam Pusaran Konflik Kepentingan

15 November 2024   10:26 Diperbarui: 17 November 2024   10:23 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

RISKAN, sudah pasti ketika bermain di tubir jurang atau tepi jurang (edge of the ravine). Bahaya mengancam jiwa, dan keselamatan. Seperti itulah ungkapan untuk mengingatkan para penyelenggara Pemilihan Umum (Pemilu). Mengulik terobosan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Maluku Utara (Malut) dalam kontestasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024, ada hal unik dan janggal. Tak lazim ditemukan sebelum-sebelumnya. Benarkah, Komisioner KPU Malut siap menjadi tumbal atas keserakahan politisi tertentu?.

Mulai dari proses pergantian calon Gubernur Malut yang dipolemikkan. Mendiang Benny Laos, diganti istrinya Sherly Tjoanda, sebagai calon Gubernur Malut membuat KPU Provinsi Malut berada dalam sorotan kamera publik. KPU Malut saat ini berada dalam pusaran konflik kepentingan (conflic of interest). 

Dari aspek prosedur pengambilan keputusan KPU Malut dipersoalkan. Dinilai ada regulasi yang "dibegal", tahapan penyelenggaraan Pemilu ada yang dilewatkan, dan respon KPU untuk mengklarifikasi hal terkait juga belum maksimal. Tidak mengena jantung persoalan, bahkan terkesan menghindar. Masih banyak pertanyaan publik yang belum terjawab tuntas. Akhirnya, KPU Malut dituding bersetubuh dengan kepentingan politik praktis dari calon Gubernur tertentu.

Tugas KPU yang idealnya mengkoordinasikan, menyelenggarakan, mengendalikan dan memantau semua tahapan Pemilu, belum jalan 100 persen. Bahkan kerap offside. Komisioner KPU bukan menjadi trigger terhadap lahirnya turbulensi politik. Sejatinya mereka bukan endorser kandidat Kepala Daerah. Bukan seperti babu, dan hamba sahaya yang mengabdi pada majikan. Itu sebabnya, mereka wajib mandiri, menjaga integritas, kemudian bekerja profesional.

Akibat dari keputusan KPU Malut yang meloloskan Sherly Tjoanda yang kontroversial itu, melahirkan polemik dan menyumbangkan bibit konflik sosial. Lalu siapa yang disalahkan selain KPU Malut?. Rasa-rasanya peristiwa ''pemaksaan'' kepentingan politik ini tidak boleh dibiarkan. KPU Malut memang beralibi bahwa mereka menerapkan hukum darurat. Ada force majeure (keadaan kahar). Yaitu keadaan yang terjadi di luar kendali manusia yang dapat menyebabkan suatu pihak terlepas dari suatu kontrak yang ditentukan.

KPU di tengah sorotan masyarakat, antara kredibilitas, kepercayaan publik, dan relasinya terhadap partisipasi publik dalam berdemokrasi. Karena kelas menengah di Malut sebagian besarnya telah skeptis dengan integritas, netralitas, dan independensi para Komisioner KPU Malut dalam rezim Pilkada Serentak 2024 ini. Konsekuensinya dukungan elemen masyarakat terhadap segala program KPU Malut menjadi berkurang dan melemah.

Sebagian kaum intelektual menyimpulkan lolosnya Sherly sebagai calon Gubernur Malut adalah aib politik. Itulah nyatanya skandal politik. Bawaslu Malut juga dipertanyakan dalam hal ini. Kenapa diam dan tidak menjalankan tugas pengawasan secara radikal, teliti, dan tegas. Ada sinyalemen buruk, dimana politik kompromi, barter kepentingan, bahkan politik balas budi telah terbangun. Para penyelenggara Pemilu di Malut terseret, diduga kuat tersandera konspirasi politik.

Semakin kronis dan runyam manakala penyelenggara Pemilu yang tugasnya mengatur proses Pemilu agar berjalan tertib, adil, transparan, dan akuntabel malah terlilit politik balas jasa. Mereka akan terpenjara atas sikap dependen. Kemudian, apa yang diharapkan masyarakat Malut dalam momentum Pilkada Serentak 2024 ini?. Menyedihkan. Situasi pilu ini tidak boleh didiamkan. Perlu ada edukasi, perlawanan, pelurusan atas praktek yang barbar.

Segala deviasi demokrasi hanya akan mendatangkan malapetaka. Tidak ada kebaikan yang mau mendekat dari proses, dan niat yang busuk. Padahal jika semua komponen yang terlibat, stakeholder memiliki niat baik, mulia hatinya, maka tidak perlu ada praktek-praktek curang. Kesadaran membangun benar tumbuh di dalam sanubari kita sebagai anak negeri Maluku Utara. Tidak perlu berbuat tricky. Kita tak mau ada anggapan bawa di tengah pusaran kegelapan, kejahatan kerap dimaklumi sebagai kewajaran.

Artinya, kita di Malut tidak berada dalam situasi ''kegelapan''. Kita tak boleh mendiamkan kesalahan. Karena mendiamkan kesalahan adalah kejahatan, begitu kata Soe Hok Gie. Sebagai kalangan yang sadar, kita tentu tidak mau membalas kekeliruan, kesengajaan, kecerobohan, atau kesalahan KPU Malut ini dengan berbuat jahat. Cukup kita melawan dengan menyelamatkan mereka, memberi pencerahan. Mengevakuasi agar mereka tidak tercebur, tenggelam lebih dalam lagi dalam kubangan kotoran.

Jika jahat dibalas kejahatan, maka itu adalah dendam. Jika kebaikan dibalas kebaikan, maka itu adalah perkara biasa. Kemudian, jika kebaikan dibalas kejahatan, maka itu adalah dzalim. Tapi, jika kejahatan dibalas kebaikan, itu adalah mulia dan terpuji. Ini ikhtiar kita untuk menghindari datangnya bencana yang lebih besar lagi. Gejolak, gelombang kecil harus mengingatkan kita semua warga Malut untuk bergerak kembali ke khittah (jalan yang benar). Mencari jalan keselamatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun