Politik akomodasi melemahkan adanya kontrol dan keseimbangan. Ketika akomodasi kepentingan dilakukan secara massal dan besar-besaran, maka oposisi politik menjadi tidak tampak.Â
Dalam situasi seperti ini, kita tinggal berharap kelas menengah untuk melakukan ''perlawanan'', memingatkan pemerintah jika kebijakannya tidak tepat. Ada penyelewengan kewenangan, dan berbagai praktek korup yang dilakukan, mahasiswa, dosen, aktivis pegiat demokrasi, dan kelompok kritis lainnya yang diharapkan lantang bersuara mengingatkan pemerintah.
Karena pasti buruk manakala eksistensi oposisi dijinakkan. Kritik otokritik ditiadakan hal ini berimplikasi terhadap masa depan pembangunan. Pemerintah akhirnya merasa serba benar, tidak ada yang mengingatkan, monopoli kebenaran maupun sikap rakus akan menguasai pemimpin kita. Alhasil, pemimpin tersebut menjadi bersifat otokratik, militeristik.
Resiko lain yang dilahirkan akibat adanya politik akomodasi yaitu diinjak-injaknya kebebasan. Mereka yang telah masuk dalam circle koalisi pemerintah terakomodasi kepentingan politiknya menjadi tidak kritis, tidak objektif lagi dalam melakukan koreksi. Kebebasan mengkritik atau menyampaikan koreksi akhirnya terbatasi atas kondisi-kondisi politik akomodasi tersebut. Ini nyata-nyata tidak baik untuk kemajuan bersama.
Hilir dari kompromi dan politik akomodasi tentu kesepakatan (deal). Bersepakat untuk mendorong kemajuan. Atau juga sebaliknya, bersepakat mendiampkan sesuatu yang sebetulnya itu buruk dan membahayakan kepentingan masyarakat. Kompromi pada level masyarakat ini selaras dengan nilai-nilai demokrasi, namun jadi berbeda dan negatif jika kompromi ditaruh di meja politisi. Yang ada hanyalah tukar tambah kepentingan sesaat. Untuk kepentingan sendiri, dan kelompok.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H