BERKEMBANG reasoning dan diskursus tentang kepemimpinan progresif mengharuskan kita untuk meng-upgrade kemampuan. Tidak sedikit konsepsi terkait pemimpin politik ditemukan. Dalam perbandingan sistem kepemimpinan di dunia, kita mendapati ada gaya kepemimpinan demokratis, otokratis, transaksional, transformasional, ada pula gaya kepemimpinan karismatik, paternalistis, militeristik, dan seterusnya.
Di Indonesia kita yang menjadikan demokrasi sebagai sistem pemerintahan tak jarang menemui problem-problem kepemimpinan di lapangan. Masih ada kebijakan yang tidak demokratis diambil. Alasannya diskresi, situasional, atau dalam keadaan darurat. Diberlakukanlah discretion power atau kebebasan bertindak. Dimana keputusan yang diambil atas dasar penilaian sendiri. Ada pula yang menggunakan dalih ''hak prerogatif'' pemimpin.
Dr. Paul Hersey dan Dr. Kenneth Balanchard, dalam buku Manajemen Perilaku Organisasi mengatakan tidak ada satu gaya kepemimpinan yang terbaik, melainkan pemimpin harus menyesuaikan tekniknya dengan kemampuan karyawan atau mereka yang dipimpinnya. Setiap pemimpin memiliki preferensi tertentu dari pola kepemimpinannya yang dianggap relevan dan tepat untuk digunakan.
Kita juga mendapati ada pemimpin tertentu yang atas nama stabilitas politik, mengharuskan ia bersikap akomodatif dan mau berkompromi dengan segala macam kepentingan. Pemimpin model ini tentu tidak menghendaki adanya resistensi, pertengkaran kepentingan berkepanjangan. Tentu pendekatan tersebut ada plus dan minusnya.
Konsekuensinya akan berpengaruh pada visi awal. Timeline untuk merealisasikan visi politik, aktor atau siapa saja figur yang dilibatkan otomatis menjadi berubah dan bergeser. Ada perpindahan dari rencana dan implementasi. Dampak logis lain yang ditimbulkan adalah besaran anggaran yang digunakan dalam mengoperasionalisasi program semakin membengkak. Prinsip efektivitas dan efisiensi anggaran menjadi tidak berhasil dilaksanakan.
Sulit rasanya dilakukan penghematan dan perampingan pembiayaan. Penggemukan struktur pemerintahan dalam hal yang lain memberi kemudahan dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Ada budaya kolaborasi yang dibangun di sini, seperti kata peribahasa ''berat sama dipikul, ringan sama dijinjing''. Meski gemuknya struktur menyebabkan adanya kerawanan terhadap tumpang tindih (overlapping)Â pelaksanaan tugas fungsi.
Secara keseluruhan (overall) yang diharapkan masyarakat dari pemimpinnya hanyalah keberpihakan nyata terhadap segala kepentingannya. Bagaimana dirinya istiqomah memperjuangkan kepentingan masyarakat. Berani menarik batas embarkasi yang tegas untuk bersama-sama masyarakat dalam susah maupun senang. Lalu dapat menghadirkan dan mengkoordinasikan apa yang dikehendaki masyarakat.
Tugas pemimpin sejatinya memastikan mereka yang dipimpinnya mendapat perlakuan adil, sejahtera, dan diperlakukan atau dilayani secara setara tanpa distingsi. Fakta membuktikan kompromi, politik akomodasi menjadi beban tersendiri bagi pemimpin yang sedang memimpin. Karena berupaya memenuhi kuota kepentingan, jatah politik, dan praktek tambal sulam kepentingan banyak pihak demi alasan stabilitas dan tertibnya kerja-kerja pemerintah.
Sebetulnya, kompromi politik yang tergambarkan dalam ''obesitas'' struktur pemerintah (Kabinet) tidak menopang adanya efektivitas pembangunan negara. Pilihannya penyederhanaan struktur dan penguatan atau optimalisasi peran pemerintah dilakukan secara intensif. Apalagi demokrasi memberi ruang yang proporsional terhadap pandangan berbeda. Demokrasi membutuhkan peran oposisi. Sebagai mitra berfikir pemerintah membutuhkan lawan tanding atau pihak-pihak yang secara suka rela menyampaikan kritik.
Merujuk pada klasifikasi kepemimpinan yang disampaikan Franklyn S Haiman, penulis buku Group Leadership and Democratic Action, maka kita menemukan ada tiga gaya pokok kepemimpinan. Diantaranya, gaya kepemimpinan otokratis atau outoctatic (oauthoritarian leadership), kepempinan demokratis (democratic/partisipative leadership), dan kepemimpinan yang bebas (free-rein/laissez faire leadership). Perlunya evaluasi terhadap gaya kepemimpinan di negara ini dilakukan.
Setidaknya agar kita mengerti. Ketika publik mulai mengerti model kepemimpinan dari pimpinan tertinggi di negara ini membuat kita tidak kaget. Masyarakat menjadi memahami, tercerahkan tentang visi besar, arah dan rute dari pimpin yang memimpin kita semua. Mentalitas kompromi dalam konteks mengurusi kepentingan masyarakat tentu sangat bijak dan baik. Berbeda ketika ditarik ke ruang kompromi politik struktural atau bagi-bagi kue kekuasaan.
Politik akomodasi melemahkan adanya kontrol dan keseimbangan. Ketika akomodasi kepentingan dilakukan secara massal dan besar-besaran, maka oposisi politik menjadi tidak tampak.Â
Dalam situasi seperti ini, kita tinggal berharap kelas menengah untuk melakukan ''perlawanan'', memingatkan pemerintah jika kebijakannya tidak tepat. Ada penyelewengan kewenangan, dan berbagai praktek korup yang dilakukan, mahasiswa, dosen, aktivis pegiat demokrasi, dan kelompok kritis lainnya yang diharapkan lantang bersuara mengingatkan pemerintah.
Karena pasti buruk manakala eksistensi oposisi dijinakkan. Kritik otokritik ditiadakan hal ini berimplikasi terhadap masa depan pembangunan. Pemerintah akhirnya merasa serba benar, tidak ada yang mengingatkan, monopoli kebenaran maupun sikap rakus akan menguasai pemimpin kita. Alhasil, pemimpin tersebut menjadi bersifat otokratik, militeristik.
Resiko lain yang dilahirkan akibat adanya politik akomodasi yaitu diinjak-injaknya kebebasan. Mereka yang telah masuk dalam circle koalisi pemerintah terakomodasi kepentingan politiknya menjadi tidak kritis, tidak objektif lagi dalam melakukan koreksi. Kebebasan mengkritik atau menyampaikan koreksi akhirnya terbatasi atas kondisi-kondisi politik akomodasi tersebut. Ini nyata-nyata tidak baik untuk kemajuan bersama.
Hilir dari kompromi dan politik akomodasi tentu kesepakatan (deal). Bersepakat untuk mendorong kemajuan. Atau juga sebaliknya, bersepakat mendiampkan sesuatu yang sebetulnya itu buruk dan membahayakan kepentingan masyarakat. Kompromi pada level masyarakat ini selaras dengan nilai-nilai demokrasi, namun jadi berbeda dan negatif jika kompromi ditaruh di meja politisi. Yang ada hanyalah tukar tambah kepentingan sesaat. Untuk kepentingan sendiri, dan kelompok.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI