Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Literasi progresif

Pegiat Literasi dan penikmat buku politik

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pemimpin Pikun, Buta Sejarah

5 Oktober 2024   19:01 Diperbarui: 22 November 2024   13:34 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sketsa pemimpin buta sejarah (Dok. Beo.co.id)

KONTESTASI demokrasi telah tiba. Para calon Kepala Daerah tampil dengan anek ragam gagasannya. Partai politik telah mengajukan jagoannya, dan ada yang melalui jalur independen (non parpol). Peran penting masyarakat menjadi kunci dalam mewujudkan demokrasi yang berkualitas. Bagaimana pemimpin terbaik itu menang, pemimpin bermental mafia dikalahkan, semua bergantung pada masyarakat.

Situasi tarik menarik kepentingan politik juga mendesak dan menuntun masyarakat dalam interaksi yang alot. Berbeda dari biasanya, sebelum kontestasi politik tiba. Sebagai konstituen, masyarakat menjadi objek yang diburu para politikus. Kita berharap masyarakat tidak gegabah sebagai pemegang kedaulatan. 

Belajar dari pengalaman berpemilu, masyarakat dalam menghadapi Pilkada Serentak 2024 harus lebih selektif lagi. Tidak boleh puas atau mengabaikan pengalaman-pengalaman Pemilu sebelumnya. Mesti bisa mengambil pelajaran, agar masyarakat tidak dibodohi lagi saat menentukan pilihannya. 

Ketika terkecoh masyarakat akan memilih pemimpin rakus. Model pemimpin yang tidak mau memusingkan kepentingan masyarakat, mereka hanya mau mengutamakan kepentingan diri dan kelompoknya semata. Itu artinya, masyarakat jangan memilih pemimpin pikun. Apalagi pemimpin buta sejarah. 

Masyarakat jangan sampai salah memilih pemimpinnya. Masa depan daerah akan dipertaruhkan dalam kurun waktu 5 tahun ke depan. Sebab, Pilkada Serentak bukan rutinitas. Bukan pula formalitas. Ini hajatan penting dan bersejarah.

Bagaimana menentukan nasib masyarakat. Meletakkan posisi kesejarahan dan pembangunan daerah. Pokoknya tidak mudah. Itu artinya, masyarakat juga mesti punya standar ukuran dan akal yang sehat untuk menaruh kepada figur mana yang harapan luhur mereka disematkan.

Proses demokrasi bukan pula sesuatu yang semu, penuh kamuflase, lalu dihiasi dengan praktek anomali-anomali politik. Sumbatan demokrasi perlu dibersihkan. Agar masyarakat tidak tertipu. Hak berdaulat yang dipunyai masyarakat tidak boleh disia-siakan.

Tidak boleh pula dipertukarkan dengan materi apapun. Karena sesungguhnya kedaulatan itulah satu-satunya kemewahan masyarakat. Ketika sekali saja mau dibarter disitulah kehancuran dan bencana akan datang. Kedaulatan masyarakat tak boleh digadai, atau diberikan pada politisi yang inkonsisten dan sekadar punya pretensi.

Masyarakat harus memilih pemimpin yang tepat. Hindari memilih pemimpin yang tercerabut dari akar sejarahnya. Jauhi pemimpin yang rapuh secara historis dan sosial. Pemimpin yang tidak berakar-urat dengan sejarah terdahulu, sudah pasti nir akhlak dan mendatangkan petaka.

Kenali narasi besar calon pemimpin, rekam jejaknya. Komitmen perjuangannya untuk masyarakat. Jangan sekali-kali memilih karena uang, tekanan, yang menghilangkan objektifitas atau rasionalitas, dan jangan mau karena bujuk rayu politikus atau siapapun. Mari kita menyongsong agenda akbar Pilkada Serentak 27 November 2024. Mulailah untuk berfikir sehat, dan adil sejak dalam pikiran. Sejarah tak boleh diabaikan.

Tinggalkan kebiasaan lama. Jangan lagi mau dibego-begoin politisi busuk yang bermental mafia. Bergeraklah bangkit, kembali ke jalan yang benar dengan tidak memilih pemimpin yang buta huruf dari sejarah. Pemimpin yang fakir ilmu, tapi merasa paling tau segala.

Berani masyarakat memilih pemimpin rapuh dan ahistoris, maka ancamannya kearifan lokal dijadikan jualan. Budaya peninggalan leluhur tidak dipusingkan lagi. Karena ia rapuh, pemimpin seperti ini akan membawa kerawanan konflik sosial. Warga akan dipimpin sosok pemimpin yang kehilangan identitas pribumi (lokalitas).

Pemimpin yang buta sejarah akan menganggap para pendahulu gagal meninggalkan legacy. Ia enggan menghargai jasa-jasa leluhur. Kecenderungannya menjemput hal-hal baru (modern), lalu mengabaikan sejarah. Yang paling bengisnya, ia apatis terhadap sejarah.

Masyarakat jangan menganggap remeh edukasi dan literasi politik yang dilakukan. Hal itu penting agar masyarakat tidak disesatkan para politisi dengan mengarang cerita. Mengakali masyarakat untuk memilih calon pemimpin yang mereka usung.

Ketika masyarakat sudah terliterasi secara baik dan benara. Tau melakukan pendalaman, menggali siapa sosok pemimpin ideal yang layak mereka pilih. Maka peluang lahirnya pemimpin dungu, pemimpin pikun, atau pemimpin buta sejarah, akan terhindari. Masyarakat terbebas dari praktek salah pilih.

Kita perlu menjawab ragam tantangan yang membuat demokrasi stagnan bahkan mengalami degradasi. Meski tidak semudah membalikkan telapak tangan, masyarakat harus terus-menerus diingatkan agar mengerti. Tidak asal memilih calon pemimpin. Sesi cermat dalam memilih pemimpin ini sangat penting.

Bagaimana tidak, di tangan pemimpinlah perubahan ke arah progres, atau kemunduran akan terjadi. Tanggung jawab kolektif masyarakat untuk memilih sosok yang mempunyai karakter kepemimpinan, punya modalitas memimpin menjadi hal prioritas. Tidak boleh mengabaikan hal ini.

Sebagai konstituen, masyarakat perlu teliti memilih. Agar tidak memilih pemimpin daerah yang ahistoris. Yang ingatan pendek dan mengabaikan kearifan lokal. Para pemimpin sempalan, gadungan, dan karbitan yang mengandalkan uang untuk membayar masyarakat agar mereka dipilih, perlu menjadi perhatian untuk tidak dipilih masyarakat. Berhentilah masyarakat menentukan pilihan secara serampangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun