disparitas. Terjadi pertengkaran yang rumit untuk diurai. Padahal, jika pemimpin kita punya komitmen semua problem sosial dapat diatasi.
IRONIS, ini menjadi kata pembuka dalam tulisan saya kali ini. Kenapa tidak, karena saking banyaknya realitas sosial yang kita lihat mengalami kontraksi, dan kontradiksi. AdaBisa disimplifikasi. Karena tak ada problematika di dunia ini yang terkunci jalan keluarnya. Rasionalitas publik kini terkikis, bahkan tercerabut. Terjungkal dari posisi yang semestinya. Terjatuh ke titik nadir. Keberanian menegakan kebenaran dan keadilan dipupus dengan teror dan intimidasi.
Bila pemimpin kita juga sportif, membuka diri, dan mau menerima pendapat publik, tanpa baper atau anti kritik. Maka, ragam masalah di republik Indonesia ini akan terselesaikan. Tugas utama yang perlu kita benahi bersama adalah merekonstruksi cara pandang pemimpin.
Agar tidak menjadikan teror dan intimidasi sebagai cara menutupi kelemahannya dalam menyelesaikan problem bangsa. Ini bukan lagi rahasia, dimana kebanyakan manusia yang tidak menerima bahwa dirinya punya kekurangan. Padahal secara manusiawi pemimpin tak luput dari salah dan kekurangan.
Ketika pemimpin anti terhadap pendapat publik ini tanda ancaman. Apabila usul ditolak tanpa ditimbang suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan dituduh subversive dan mengganggu keamanan maka hanya ada satu kata, lawan. Sudah pasti semangat itu bertentangan dengan demokrasi yang egaliter. Kemajuan demokrasi sukar terlahir jika pemimpin masih berfikir tertutup, kolot, dan timpang seperti itu.
Di era ini pemimpin yang berfikir primitif, bertindak dengan cara-cara yang kuno sudah tidak relevan lagi dalam menyelesaikan persoalan-persoalan kekinian. Publik membutuhkan pemimpin yang dinamis. Yang punya komitmen dan keberpihakan membela hak-hak rakyat. Secara suka rela meminta saran publik.
Kita masyarakat yang masih memiliki akal sehat dan waras, pasti merasa miris melihat kepemimpinan bangsa ini yang kian meredupkan nilai-nilai kebanaran, keadilan, dan juga kebaikan. Elit pemimpin kita sibuk dengan kepentingan politiknya. Mengamankan keluarga untuk menjaga kelanggengan kekuasaan.
Mereka tak mau ambil pusing atas penderitaan dan keluh kesah rakyat. Di benak para elit masyarakat akan terhibur, senang, jika pemerintah memberikan paket bantuan. Mereka juga tak masyarakat tidak punya kemampuan melawan, karena takut dikriminalisasi. Atas situasi demikian, masyarakat mudah dikendalikan.
Semakin tergerus akal sehat pimpin, hal itu berpengaruh efektif pada kesadaran kolektif masyarakat. Walau begitu di era yang perpolitikan yang bar-bar ini masih ada pihak, aktor yang berani tampil karena moral call. Kita berharap jangan ada orang baik yang berbuat jahat. Biarkan pemimpin lalim terbunuh dengan sikapnya sendiri.
Masih ada pemimpin yang memberantakkan demokrasi. Begitu menyedihkannya. Rasanya masyarakat kita pernah melewati proses salah memilih pemimpinnya. Sembari memperkuat politik dinasti, pemimpin kita melakukan soft power. Dimana sang pemimpin melakukan kontrol melalui cara ekonomi, politik, moral, dan budaya.
Pembusukan terjadi dimana-mana. Termasuk merajai sendi-sendi dan jantung demokrasi. Sehingga demikian demokrasi tidak dapat kita andalkan lagi sekarang, di era ini khususnya. Political decay (pembusukan politik) terjadi dari kepala, dan perilaku elit itu terduplikasi hingga ke daerah.