RASANYA istilah gratifikasi telah mengalami perluasan interpretasi. Tidak tunggal ditafsir sebagai bagian tukar tambah kepentingan. Dari seorang yang berkepentingan kepada pejabat publik sebagai pemegang kepentingan, tujuannya mempengaruhi kebijakan. Dapat mempengaruhi keputusan, menghalalkan segala cara, merubah kebijakan, dan prinsip-prinsip profesionalisme menjadi lentur. Aturan dilanggar.
Sekarang gratifikasi tidak sekadar merambah atau bersentuhan dengan uang atau sogokan materi. Lebih dari itu, santer digunakan pada praktek gratifikasi seks yang dilakukan di republik Indonesia ini. Model baru praktek amoral yang kerap dipakai para pejabat publik dengan memanfaatkan jabatannya.
Dalam proses seleksi penyelenggara Pemilu, misalnya rumor gratifikasi seks deras terdengar. Ada selentingan, ''jika tak punya uang, bisa jual tubuh bagi perempuan''. Jualan kecantikan untuk kepentingan meraih jabatan dilakukan. Maksiat sekalipun dianggap lazim. Nauzubillahminzalik.
Tidak hanya KKN, menyuap pemegang kewenangan (stakeholder) untuk berpihak dan menguntungkan diri seseorang juga dilakukan. Demi mendapatkan jabatan, seseorang berani menjual birahi harga dirinya. Sialnya lagi, pemangku kepentingan dalam hal ini pejabat publik ikut menikmati, membuat peluang itu.
Mereka mencemplungkan dirinya dalam kotoran pekat, becek, dan bau busuk praktek maksiat yang bernama gratifikasi seks. Ketua KPU RI, Hasyim Asy'ari dipecat akibat dari kasus asusila yang melibatkan Cindra Aditi Tejakinkin (CAT), perempuan anggota Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) Den Haag, Belanda. Sepertinya Hasyim sudah mencapai titik klimaks dalam deretan akumulasi skandal kejahatan.
Bahkan sebelumnya pernah dilaporkan ''wanita emas'' Hasnaeni Moein, Ketua Umum partai Republik Satu. Dalam kasus Hasyim, hingga dipecat dari KPU diduga kuat memiliki relasi penyalahgunaan kekuasaan atau kewenangan (abuse of power), ada gratifikasi seks. Konsekuensinya, reputasi Lembaga KPU menjadi runtuh.
Praktek jual diri ke pejabat publik menjadi fenomena yang memalukan. Namun sayangnya, di pihak lain menjadi semacam ''kebanggaan'' bagi oknum pelaku pembuat aib tersebut. Beda problemnya, jika yang melakukan hal melecehkan dan memalukan itu dilakukan bukan oleh pejabat publik yang digaji negara.
Ketua DKPP, Heddy Lugito akhirnya pada hari Rabu, 3 Juli 2024, karena terbukti melakukan pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEPP), DKPP memutuskan menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap kepada Teradu yaitu Hasyim Asy'ari selaku Ketua merangkap Anggota KPU RI, terhitung sejak putusan tersebut dibacakan.
Benarkah Ketua KPU RI yang baru dipecat itu bandit dan tolol?, ataukah hanya menjadi korban politik. Seperti kata peribahasa, ''habis manis sepah dibuang''. Beberapa pihak sudah menduga, bahwa Hasyim pasti dibuang ke tong sampah secara politik setelah Pemilu 2024. Jika sedari awal DKPP tegas, Hasyim mestinya dipecat disaat kasus wanita emas.
Tercapture juga dalam pernyataan yang dihumpun DKPP, dan dibacakan di Jakarta, Rabu, 3 Juli 2024, Hasyim disebut sudah memiliki intensi terhadap terduga korban asusila yang berinsial CAT tersebut. Hasyim terhitung kurang lebih 5 kali mendapat sanksi DKPP, hingga akhirnya diberhentikan secara tetap (permanen).
Yang membuat publik, terutama pegiat Pemilu, akademisi yang konsen dengan pembangunan demokrasi bukanlah dipecatnya Hasyim. Melainkan rusak, luluh lantahnya institusi KPU yang dilakukan para mafia. Para bandit yang berkedok integritas. Mereka yang memanfaatkan jabatan untuk mengekspresikan libido pribadinya.
Mereka yang buas, terbius pada kekuasaan, lalu brutal, membabi buta melakukan praktek pembegalan aturan dari dalam Lembaga KPU. Bahaya atas serangan KPU, sejak awal sudah diarsir, diidentifikasi berbagai pihak bahwa problem akut itu bukan dari dari luar KPU. Tapi, dari dalam tubuh KPU itu sendiri.
Ancaman atas rusaknya Kelembagaan KPU hadir, tumbuh dari tubuh KPU sendiri. Watak dan karakter seperti Hasyim secara nyata membuat negara dan rakyatnya merasa sangat dirugikan. Bagaimana tidak, kita menggaji, membiayai seseorang atau sekelompok orang untuk bekerja menjalankan Pemilu malah berbuat asusila. Berzinah untuk nafsu kebinatangannya.
Sangat memilukan dan memalukan. Apapun alasannya, individu perusak nama baik Lembaga pemerintahan, Lembaga Negara yang dibentuk pemerintah tidak boleh ditorerir. Modus baru melalui praktek-praktek gratifikasi seksual perlu diwaspadai dan diamputasi.
Sikap kebinatangan dan nafsu serakah para pejabat publik perlu dipangkas. Tidak boleh lagi ada intrik, ego kekuasaan yang menindas pihak lain. Pintu masuk atas terjadinya gratifikasi seks yakni dari sikap over subyektif pejabat publik yang salah mengelola kekuasaan. Yang memanfaatkan kuasanya untuk berbuat curang, sekaligus culas.Â
Relasi kekuasaan yang buruk itu harus diruntuhkan. Caranya adalah selektif dalam memilih atau menentukan pejabat publik. Terlebih seperti mereka yang diberi otoritas mengurus dan mengelola pemilihan umum seperti KPU Bawaslu bersama jajarannya.
Kalau melakukan bridging (menjembatani), menggali, mengulik sejumlah skandal kontroversi yang dilakukan Hasyim menandakan bahwa kesadarannya sebagai Ketua KPU RI atau pejabat publik masih begitu rendah. Moralitas, etika, dan integritas yang menjadi mahkota KPU telah roboh. Ya, runtuh karena sikap barbar Hasyim.
Korupsi berupa penyalahgunaan wewenang, jabatan dikapitalisasi untuk memperkaya diri sendiri akhirnya mengakar, menjarah institusi seperti KPU. Realitas dimana ''ahli maksiat'' malah dengan bangga, berterima kasih karena telah diberhentikan dari jabatannya. Seolah-olah melegitimasi aktivitas lakmat, dan biadab yang dilakukannya.Â
Itu sebabnya, Komisioner KPU RI, dan Komisioner KPUD seluruh Indonesia harus diperiksa segala penggunaan anggarannya. Harta kekayaan, pendapatan sah serta biaya hidupnya perlu diperiksa penegak hukum. Jika ada anomali, maka layak diseret dipenjara. Ketika peristiwa buruk tersebut dibiarkan, maka bancakan anggaran berpotensi terjadi.Â
Terjadi pemborosan anggaran. Pemanfaatan fasilitas negara seperti mobil mewah yang digunakan Komisioner KPU (mobil yang lebih dari satu), apa manfaatnya untuk negara. Komisioner yang hidup glamor dengan sewa jet pribadi (private jet) juga menuai polemik di hadapan publik. Dimana sebagian besar rakyat yang masih punya akal sehat mengutuk sikap mubazir dari Komisioner KPU RI tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H