politik yang diproduksi Lembaga Survei dan realitas politik di lapangan. Menyikapi kehadiran Lembaga Survei (LS), yang memicu kontroversi publik membuat rakyat gamang. Kondisi itu memantik saya untuk menuliskan perspektif ini.
Kita menemukan adanya disparitas antara hasil surveiSebagai jebolan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Pernah menjadi aktivis mahasiswa batin saya meronta melihat demokrasi dibegali, aturan diakali para bandit. Rekayasa dilakukan demi kemenangan politik. Saya terpanggil untuk mereposisi pandangan publik dan aktor politik tentang esensi demokrasi yang kini mengalami penyimpangan.Â
Yang akhir-akhir ini melenceng kian jauh. Demokrasi dari rakyat oleh dan untuk rakyat, malah dibonsai. Tereksploitasi, eksistensinya tidak original. Selaku kaum terdidik yang mengerti politik dan demokrasi saya gelisah melihat demokrasi dihancurkan. Elit yang diuntungkan atas politisasi seakan tanpa malu merusak demokrasi. Kalangan kampus juga akhirnya ramai-ramai angkat bicara.
LS paling tidak ikut hadir mewarnai proses kemerosotan demokrasi tersebut. Demokrasi sejatinya tak boleh tunduk di bawah hegemoni LS. Pada posisi ini, pemerintah dan stakeholder terkait perlu melakukan penyelamatan demokrasi dengan membangun kesadaran kolektif. Bahwa LS bukanlah Lembaga resmi yang punya kompetensi seperti KPU, media massa juga begitu harus diingatkan agar tidak over mengakomodasi propaganda LS yang tendensius dan berpihak tersebut.
Menyikapi demokrasi yang dikerangkeng itu. Saya teringat Karl Marx seorang filsuf, jurnalis dan sosialis revolusioner asal Jerman pernah mengatakan agama merupakan candu masyarakat. Dalam konteks saat itu, Marx memberikan kritik terhadap hegemoni Gereja yang sangat kuat. Proses eksploitasi manusia terjadi. Pernyataan agama candu masyarakat sebagai sebuah alat perlawanan dikala itu.
Dalam situasi politik kekinian, kehadiran LS yang memporak-porandakan nalar publik membuat alam pikiran publik menjadi tercemar. LS malah hadir seperti think tank pasangan calon Presiden tertentu. Bekerja sesuai orderan. Malah LS menambah masalah dalam proses polarisasi di tengah masyarakat.
LS menjadikan metode ilmiah sebagai tameng dalam bekerja mencari pundi-pundi pribadi dan Lembaganya. Lalu membangun kerajaan opini. Membuat framing. Alhasil, masyarakat terfragmentasi dalam konflik kepentingan. Pro kontra dalam demokrasi malah meruncingkan masalah, membuat masyarakat bertikai.
Di mata saya LS adalah candu. Bagi pihak atau kelompok masyarakat yang diuntungkan dari hasil kerja LS, mereka akan ketagihan. Ada semacam ketergantungan, padahal mereka lupa LS bekerja karena uang dan bayaran. Artinya, soal objektifitas survei itu bukan prioritas. Ada kesan demi "pasien", trust bisa digadaikan. Yang penting bagi mereka hanyalah mitra kerja dibuat senyaman mungkin.
Kebebasan adalah jati diri manusia, yang di era itu terbelenggu dan dikritik Friedrich Nietzsche. Menurutnya, manusia harusnya bebas dalam arti ini adalah menjadi dirinya sendiri. Manusia harus terluput dari ketakutan, kecemasan, pengawasan dari orang lain, termasuk Tuhan (khususnya Tuhan Kristiani).
Jika kehadiran Tuhan menyebabkan manusia tidak bebas atau mengerdilkan dan mengasingkan manusia dari dirinya maka Tuhan harus "dibunuh". Tuhan (Kristen), kata Nietzsche telah menjerumuskan manusia ke lumpur, yang menginjak-injak dan mematahkan jati diri manusia. Tuhan, dengan berbagai bentuk aturan dan larangan-Nya, membuat manusia semakin kerdil sehingga tidak menjadi dirinya yang sejati.
Dengan demikian, melalui perumpamaan "Si Sinting yang mewartakan kematian Tuhan di pasar pada suatu siang bolong", Friedrich Nietzsche mewartakan bahwa "Gott is tot!". Nietzsche menulis kematian Tuhan dalam bukunya The Gay Science, bahwa Tuhan Telah Mati. Bagi saya untuk melahirkan demokrasi yang berkualitas maka kita harus membunuh LS.
Karena pertumbuhan LS, malah mereduksi mengesampingkan kesadaran publik. Proses elektoral relatif banyak diganggu dengan opini-opini yang gencar dibenturkan dan dikonstruksi LS. Demokrasi kita akhirnya bergeser dari demokrasi substansial. Menjadi demokrasi yang kian pragmatis dan liberal dalam prakteknya. Jika kita benar-benar memikirkan, mau menyiapkan masa depan demokrasi yang baik. Maka kehadiran LS harus diwaspadai.
Perlu ada pembatasan. Harus transparan LS mengabdi dan bekerja secara politik ke kandidat siapa saja. Jangan ada yang ditutup-tutupi, lalu muncul seolah-olah sebagai pengontrol dan instrumen penyedia kebenaran satu-satunya di republik Indonesia ini.
Kalau mau demokrasi tumbuh sehat, maka LS sejatinya dievaluasi kerja-kerjanya. Bukan malah menjadi fasilitas bagi kelompok tertentu untuk melahirkan propaganda. Karena kerja dan publikasi LS yang fulgar, dan ugal-ugalan seperti dalam Pilpres 2024 akan membawa dampak melahirkan konflik di tengah-tengah masyarakat. Bagaimana tidak, LS sudah menciptakan klaim kebenaran.
Lalu tidak transparan dan tidak masif memberikan edukasi kepada publik tentang apa saja yang menjadi kerja-kerja mereka. Seharusnya LS untuk menguatkan demokrasi kita, membuat demokrasi semakin berkualitas. Bukan melahirkan disintegrasi. Pemerintah kedepannya seyogyanya dapat mengintervensi kerja LS ini. Karena dampak yang dihasilkan bersifat ganda.
Bisa positif, dan bisa pula negatif. Sehingga negara harus hadir mengatur LS. Jangan karena hasil rilis dan pernyataan pers yang sporadis dipublikasikan ke media massa, memicu kontroversi di tengah masyarakat. Hasilnya, lahir buliran keresahan yang mengkristal dan membuahkan konflik. Saran saya, LS perlu diatur ulang. Jangan terlalu diberikan kebebasan, karena mulai beringas.
Dan masyarakat mesti berani menolak wawancara kuisioner. Melakukan gerakan resistensi secara terang-terangan agar pihak LS juga tau diri. LS yang partisan yang marak saat ini, diduga kuat terafiliasi dengan salah satu Paslon Capres. Mereka melakukan kerja-kerja tim sukses, menjadi konsultan, bersikap standar ganda. Mereka melahirkan kontraksi sosial.
Membuat masyarakat berebut klaim kemenangan atau keunggulan elektabilitas. Yang akhirnya persatuan masyarakat terganggu. Ini membahayakan, itu sebabnya LS juga disisi lain perlu diaudit keuangannya. Pengawasan terhadap LS perlu diperketat dan dikuatkan. Jangan biarkan mereka sesuka hati memproduksi hasil survei yang tidak merepresentasikan masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
Bayangkan saja, sesuai data. Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2024 sebanyak 204.807.222 pemilih. Kemudian, yang masuk dalam survei LS kurang lebih 1500 orang, tidak lebih dari 5000 responden. Artinya, disparitasnya sangat jauh. Jangan pula menuhankan Lembaga Survei, karena dalam sejarahnya di Indonesia prediksi dan kerja mereka kerapkali salah. Tidak akurat.
Di lain pihak, eskalasi politik yang meningkat jelang Pilpres 2024 (14 Februari 2024) jangan sampai menenggelamkan akal sehat kita semua. LS yang hanya melakukan pembodohan politik akan memberi akibat fatal pada demokrasi. Itu sebabnya, LS adalah candu yang harus segera dilawan. Berhentilah percaya pada agitasi Lembaga Survei yang kerap melahirkan keresahan publik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H