Ketika melihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang ketentuan tambahan Pengalaman Menjabat dari Keterpilihan Pemilu dalam Syarat Usia Minimal Capres/Cawapres tersebut melahirkan polemik yang serius. Simpulannya ini tendensius. Terbukti dari keributan itu, Gibran disebut-sebut sebagai Capres yang cacat hukum.
KPK akhirnya dipelintir menjadi Mahkamah Keluarga. Menyedihkan. Kita patut khawatir MK dan KPK di akhir kepemimpinan Presiden Jokowi menjadi hilang marwahnya. Jangan sampai Presiden sendiri yang men-downgrade MK dan KPK. Itu sebabnya, rakyat Indonesia patut mengawal Pilpres 2024.
Benarkah KPK dikendalikan Presiden Jokowi ataukah ada tangan gaib yang mengendalikannya?. Di era yang penuh keterbukaan ini rasanya tak ada yang namanya ''invisible hand''. Untuk itu dibutuhkan kejujuran dari semua pemangku kepentingan. Pasti ada aktor yang menggerakkan, tidak ada yang tiba-tiba jatuh dari langit.
Ketika MK dan KPK diobok-obok, maka Polri, TNI, Kejaksaan Agung, hingga KPU, Bawaslu, juga DKPP akan terancam mengalami nasib yang sama. Publik harus berdoa meminta kepada sang khalik agar negara ini dijauhkan dari perbuatan curang dalam proses Pemilu. Agar tidak terpilih pemimpin laknatullah.
Selain itu, proteksi publik terhadap semua tahapan Pilpres 2024 harus terus ditingkatkan. Bagaimanapun, dalam konteks bernegara Institusi atau Lembaga yang disebut di atas berada di bawah kendali Presiden Jokowi. Sehingga cukup mudah intervensi dilakukan demi memenangkan satu pasangan Capres.
Jangan lagi yang disembunyikan dengan berbagai metafora. Rakyat berharap pemimpin di negara ini bertanggungjawab, ucapannya harus tulus, lalu dipegang betul ucapannya itu. Jangan di mulut lain, lalu dalam tindakan sang pemimpin itu ternyata juga lain. Ada inkonsistensi. Pemimpin yang ideal itu yang dipegang adalah omongannya.
Bahaya jika menjadi pemimpin pendusta. Pemimpin yang dari omongannya saja tidak dipercaya publik, maka runtuhlah kepemimpinan itu. Sebaiknya, ia tahu diri dan mundur segera melepaskan jabatannya. Karena dianggap tidak ada manfaatnya lagi buat rakyat banyak. Jika bertahan pada kedudukannya, ia malah melahirkan mudharat.
Terkait NasDem dan PDI Perjuangan yang kini di intai KPK, ada yang membaca fenomena ini sebagai karma politik. Sebagian menyebutnya sebagai praktek politik pengingkaran. Ada sikap tidak terpuji dari pemimpin yang tidak mengedepankan sikap balas budi. Seperti kacang lupa akan kulitnya.
Persepsi publik juga menyebut politik balas dendam turut dipicu oleh adanya keserakahan politik. Para elit di negara ini sudah saling sandera kepentingan. Bila tak ada titik temu, maka yang kuat dan mampu mengendalikan KPK, Polri, dan Kejaksaan Agung berpotensi menyalahgunakan kewenangan untuk menghajar lawan politiknya.
Tak ada nurani dan kemanusiaan yang dijadikan prinsip berpolitik. Yang ada malah politik ala Niccolo Machiavelli yaitu menghalalkan segala cara untuk menang. Begitu rendahnya moralitas politisi seperti ini. Tidak ada sikap negarawan sama sekali. Tentu yang semacam itu sangat tidak layak dicontoh publik. Mereka akan dikutuk sejarah.
Ketika ditelisik, kenapa NasDem dan PDI Perjuangan ditarget KPK. Hal itu tidak bisa lepas dari berbeda haluan politik mereka dengan Presiden Jokowi. Dimana Jokowi dipastikan mendukung anaknya Gibran, yang berpasangan dengan Capres Prabowo Subianto.Â