RJokowi sebagai Cawapres (Calon Wakil Presiden). Sebab, peluang menangnya terbuka. Dimana Jokowi masih berkuasa.
ELATIF rasional dalam kalkulasi politik elit partai yang tergabung dalam KIM (Koalisi Indonesia Maju), untuk menetapkan Gibran Rakabuming Raka, putra PresidenSetelah melewati konsensus politik yang terbaca publik secepat kilat itu, Minggu, 22 Oktober 2023 malam ini Gibran resmi diumumkan KIM untuk mendampingi Prabowo Subianto, sebagai Cawapres.
Ya, Prabowo Capres-nya. Dalam target memenangkan Pilpres 2024 dan Pemilu 2024, tentu KIM sangat berkepentingan memanfaatkan Gibran. Mengamankannya dalam gerbong karena alasan Presiden Jokowi masih mengendalikan pemerintahan.
Tidak perlu terlalu jauh membacanya. Kita simplifikasi saja, bahwa Gibran adalah penjelmaan Presiden Jokowi. Tidak mungkin Gibran sebagai anaknya Jokowi dibiarkan bertarung sendiri tanpa intervensi Ayahnya.
Itu artinya, kekerabatan dan interaksi yang dibangun lama dengan PDI Perjuangan akan terganggu. Gibran akan menyesuaikan dengan relasi keluarga baru dalam politik. Gibran sudah harus berhitung disekelilingnya berbaris politisi senior.
Ada Prabowo Subianto, Susilo Bambang Yudhoyono, Airlangga, Yusril, Anis Matta, Zulkifli Hasan, Fahri Hamzah, bahkan gerbong Partai Golkar yang besar itu. Gibran dan Presiden Jokowi harus lebih berhati-hati lagi. Menjaga diri jangan sampai menjadi instrumen semata-mata.
Walau sebelumnya di PDI Perjuangan, ada sentilan bahwa Presiden Jokowi kerap direndahkan, atau tidak hargai wibawanya sebagai Kepala pemerintahan. Meski begitu, Jokowi telah lama bersama mereka. Dan bisa saling tau lebih dalam.
Tapi, untuk circle politik yang baru ini, Jokowi dan Gibran rasanya perlu beradaptasi. Gibran sudah melangkah jauh, bahkan telah berpamitan dengan Puan Maharani atau DPP PDI Perjuangan. Gibran juga telah siap diberi sanksi.
Berita media online yang terbaca demikian. Artinya, Gibran telah menerima konsekuensi dengan pilihannya untuk bergabung menjadi Cawapres di kubu KIM. Secara kelembagaan PDI Perjuangan mungkin tidak goyah, namun kekuatannya sudah pasti tergerus.
Ada dan tidaknya Presiden bersama Gibran di PDI Perjuangan pasti memberi dampak. Ruang ini akan dieksploitasi betul lawan-lawan politik PDI Perjuangan. Apakah Presiden Jokowi sadar dengan situasi tersebut?.
Jawabannya, Presiden Jokowi bukan politisi ingusan. Bukan politisi kampungan pula, sehingga pasti hal-hal yang demikian tak akan luput dari hitungannya. Presiden Jokowi sadar betul ia masih punya power.
Bagaimana mengendalikan perangkat pemerintahan, penyelanggara Pemilu, TNI, POLRi, dan semua resource akan dipakainya untuk memenangkan Gibran. Ini sudah pertaruhan harga diri. Presiden Jokowi tidak mungkin tinggal diam.
Benturan kepentingan dan kontraksi politik ini akan memberi kesempatan kepada Anies Muhaimin mengambil ceruk suara PDI Perjuangan dan Presiden Jokowi. Karena makin meruncingnya konflik dua faksi tersebut menjadi berkah bagi AMIN.
Roda kepemimpinan akan berganti. Presiden Jokowi paling kurang satu tahun memimpin Indonesia, sudah pasti masih ada obsesi untuk mengendalikan pemerintahan berikutnya. Jalan satu-satunya ialah melalui Gibran sebagai Cawapres.
Di lain pihak, PDI Perjuangan sebagai pemenang Pemilu 2019 tentu punya investasi suara yang signifikan. Ini kekuatan yang tak boleh diremehkan. Megawati mengerti betul potensi Jokowi, bagaimanapun Jokowi pernah diasuhnya.
Segmen pemilih, kecenderungan, dan bahkan kelebihan kekurangan masing-masing pihak sudah ada di tangan PDI Perjuangan maupun Presiden Jokowi. Tinggal siapa yang pandai memainkan irama, kartu (isu dan momentum), untuk dikelola menjadi kemenangan.
Tidak boleh kita hindari, seteru kepentingan PDI Perjuangan vs Presiden Jokowi juga karena andil pihak eksternal. Misalnya, peristiwa pencaplokan kader PDI Perjuangan. Rangkaian "pembangkangan" yang dilakukan anak-anak Presiden Jokowi pada partai yang membesarkan mereka.
Drama politik 2024 ini jika tak happy ending, maka Jokowi akan dikutuk sejarah sebagai penghianat. Jokowi akan dihakimi anak-anak zaman, PDI Perjuangan khususnya dan publik umumnya. Bahwa tidak punya rasa terima kasih.
Tidak komit dan tidak loyal pada PDI Perjuangan yang membuat Jokowi dua kali berturut-turut sebagai Presiden Republik Indonesia. Bahkan sebelum menjadi Presiden. Tentu akan menjadi memori kolektif, yang buruk bagi anak keturunan Jokowi.
Genderang perang antara PDI Perjuangan vs Presiden Jokowi dimulai. Situasi yang tentu tidak diharapkan pendukung militan Jokowi, tapi lagi-lagi begitulah politik. Tak ada teman yang abadi. Tak ada pula musuh yang abadi, karena yang abadi hanya kepentingan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H