Dari kerja Lembaga Survei yang demikian, maka terbangunnya reputasi buruk. Ada ketidakpercayaan publik terhadap Lembaga Survei. Terlebih dari kalangan aktivis, kaum intelektual. Kecurigaan atas rekayasa data yang kerap dilakukan Lembaga Survei terlihat dari beberapa kasus di lapangan.
Dimana kandidat pemimpin tertentu dibingkai dan disimpulkan rendah elektabilitas, atau dukungannya dari pemilih, namun yang terjadi di lapangan berbeda. Malah berbanding terbalik. Rakyat malah memberikan dukungan meluas, berbeda dengan hasil rilis, publikasi dari Lembaga Survei.
Semakin riskan ketika Lembaga Survei tidak taubat, dan terus melakukan framing melemahkan Capres lain yang mungkin tidak memberi manfaat pada mereka. Resiko paling berat ialah angka atau jumlah rakyat yang tidak percaya terhadap hasil Lembaga Survei, serta keberadaan Lembaga Survei semakin bertambah.
Hal itu bisa melahirkan akumulasi penolakan publik. Desakan resistensi dari bawa berpotensi terjadi. Hasilnya akan merugikan Lembaga Survei dalam rentang waktu tertentu. Case seperti yang diterbitkan hasilnya dari Lembaga Survei bahwa ada kandidat yang lemah dukungannya di wilayah (zona) tertentu, nyatanya tidak seperti yang terpotret Lembaga Survei.
Kontradiktif, yang ada di lapangan malah segmentasi pemilih di area yang dimaksud tersebut bertambah banyak. Terbalik. Ini memalukan, sehingga penting pimpinan Lembaga Survei melakukan evaluasi merata, dan adil dalam menjalankan kerja-kerjanya. Perlu dilakukan rebranding. Agar Lembaga Survei tidak tersesat lebih jauh lagi.
Framing dari Lembaga Survei akan memunculkan dua hal. Pertama, menyesatkan publik, dan kedua melahirkan kegaduhan. Karena kebohongan-kebohongan yang didesain rapi. Hasil Lembaga Survei juga akan menyumbangkan, menyuplai, dan memantik adanya konflik sosial.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H