Indonesia ini gaduh?. Jika Capres, atau calon pemimpin, bahkan pemimpin yang sedang berkuasa menghendaki kedamaian dan persatuan. Mereka semua melawan perpecahan. Terus kenapa risih?.Â
Pertanyaan sederhananya, siapa yang mau negaraKetika semua Capres terobsesi mensejahterakan rakyat, harusnya elemen rakyat bergembira. Tidak harus cemas. Jelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, setidaknya kita telah memotret visi besar, pandangan politik bakal Capres.
Dari Ganjar, Prabowo, dan Anies membicarakan gagasan. Yang dikehendaki adalah Pilpres melahirkan festivalisasi konsep. Bukan sentimen destruktif. Saling caci maki, bukan politik polarisasi. Mereka mendambakan persatuan nasional.
Mereka menolak pergolakan rakyat yang berujung pada konflik sosial. Tampil secara gagah berani, menjadi negarawan berpidato berapi-api tentang pentingnya mensejahterakan rakyat. Lantas, kenapa ada adu domba dan hujatan di medsos.
Merasa yang satu kubu paling benar dan kubu lainnya jahat, atau tidak benar, tidak baik. Dari 278,69 juta jiwa jumlah penduduk di Indonesia di tahun 2023, rasanya semua menanti kesejahteraan. Kalau 3 bakal Capres baik, bisakah kita musyawarah mufakat?.
Tidak perlu lagi melakukan voting. Yang membuang-buang anggaran Triliunan rupiah. Kalau elit politik, juga rakyat memahami substansi demokrasi sepertinya musyawarah mufakat lebih tepat ditempuh untuk mengambil solusi atas kepemimpinan nasional.
Dari pada pusing, buang waktu, buang tenaga mengadu gagasan. Tapi, pada akhirnya yang dilakukan malah memiskinkan rakyat. Kalau benar, calon pemimpin kita terobsesi atau sangat pengen mensejahterakan rakyat berikan langsung mereka amanah. Tanpa harus membuat rute panjang Pemilu (voting).
Beri kesempatan kepada 3 calon Capres ini untuk berundingi. Rembuk untuk saling support, agar dimusyawarakan siapa yang akan diberikan kesempatan mimpin. Kemudian siapa yang bertugas membantu. Kerna Pemilu akbar juga tak memberi jaminan rakyat akan sejahtera secara keseluruhan. Ini pengalaman kita semua.
Bahwa nyata-nyatanya dari Pilpres ke Pilpres tetap rakyat masih teriak dan meminta-minta agar mereka disejahterakan pemerintah. Artinya apa?, Pemilu tidak memberi kepastian. Belum lagi dari proses demokrasi yang panjang, dan high cost itu kerap melahirkan pemimpin yang split personality.
Seleksi kepemimpinan nasional dengan konsep voting, malah cukup banyak melahirkan mudharat. Lihat saja konflik sosial yang lahir akibat Pilpres. Sudah saatnya para wakil rakyat (DPR) memikirkan ulang ini. Jangan buang energi untuk Pemilu yang besar, memakan uang Triliunan rupiah, namun hasilnya mengecewakan banyak rakyat.
Para calon pemimpin kita ini katanya alergi dengan perseteruan. Faktanya, para pendukung malah bertikai dan saling fitnah. Mari kita tumbuhkan persatuan, bukan perpecahan, hal itu kerap dianjurkan para Capres. Sedihnya, dalam kerja-kerja politik di lapangan malah rakyat diprovokasi terpecah-belah dalam rebutan kepentingan politik.