H
ukum kausalitas dalam politik memang selalu saja terjadi. Kita dapat membacanya dalam realitas kontestasi politik. Dalam konteks lokalitas, hingga global. Ada pro dan kontra, ada yang hari ini koalisi, tahun depannya beroposisi. Ada politisi yang menghajar politisi lainnya. Lalu muncul perlawanan. Saling balas membalas di panggung politik.Ada kejayaan partai politik di republik Indonesia ini, dan ada pula fase kejatuhan atau kehancuran. Dalam sejarah panjang politik Indonesia kondisi pro kontra itu kita temukan. Ada anomali. Pada rute sejarah para the founding fathers, ketika itu Ir. Soekarno menjadi Presiden. Menyajikan corak kepemimpinan marhaenis.
Bahkan, sebelum kemerdekaan. Soekarno mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI), pada tahun 1927. PNI saat itu menjadi partai penguasa. Setelahnya, ada Presiden Soeharto dari partai Golkar. Kemudian KH. Abdurrahman Wahid, dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Megawati Soekarnoputri, PDI Perjuangan.
Setelahnya, ada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Partai Demokrat. Kini Presiden Joko Widodo, sebagai petugas PDI Perjuangan. Begitulah kekuasaan berganti, tidak absolut. Perpindahan kepemimpinan berlangsung, dan menampilkan style berbeda-beda. Layaklah kita apresiasi. Begitulah era kekuatan partai politik. Parpol punya pengaruh yang amat kuat untuk mengatur negara.
Meski begitu bukan berarti kita harus terpatronase dan pasra pada kekejaman sejarah. Jika nantinya sejarah melahirkan kejahatan dan kekerasan. Hemat saya negara butuh pemimpin yang adaptif, namun punya prinsip. Indonesia memerlukan transformasi kepemimpinan. Bukan hanya menjadi penggerak.
Melainkan pemimpin yang pandai berbaur, lebih banyak mendengar, merasakan derita rakyat, lalu itu semua dapat diperjuangkannya. Sosok pemimpin yang mau berkolaborasi itu tercermin saat ini, dari bakal calon Presidennya. Ada Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Rasyid Baswedan.
Panggung politik kita jelang Pemilu 2024 mulai ramai. Dimana proyek saling dukung-mendukung mengalir kencang. Kontestasi ide dan gagasan mulai running. Patronasi koalisi politik mulai dirancang dan ekstra. Ada kepentingan yang di-mix dan dimatangkan. Simulasi pasang-memasang kandidat Capres dan Cawapres sedang dilakukan.
Para elit partai politik melakukan determinasi terhadap siapa mitra koalisi yang tepat untuk mereka membangun sekutu. Bersama-sama menjalankan agenda kerakyatan, dan juga memudahkan pasangan calon Presiden yang mereka akan perjuangkan untuk dipilih rakyat. Inilah positioning.
Arena politik yang lebih luas ini kita berharap dapat diwarnai dengan transaksi ide, konseptual, dan visi misi. Bukan transaksi uang. Ada variabel lain yang dianggap ikut mengganggu mulusnya kepentingan para pengusaha-pengusaha besar yang korup di negara ini. Kita berharap pertarungan Pilpres 2024 yang maju dibanding lima tahun sebelumnya.
Publik juga kita berhadap membangun kesadaran untuk menciptakan iklim politik yang kondusif. Tidak boleh menutup mata atas lahirnya ancaman prahara politik di tahun 2024 mendatang. Dialektika isu-isu kemasyarakatan yang mencerahkan publik seharusnya makin kencang dihidupkan.
Sembari membuang jauh-jauh kebiasaan berpolitik yang saling menjatuhkan. Perilaku buruk saling menghujat, tipu menipu dilakukan dalam praktek politik. Bisakah Prabowo dan Erick menjadi penjaga, sekaligus pelopor nilai-nilai nasionalis, pluralis, toleran, egaliter, serta bisa menjadi pemersatu.