Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Literasi Sampai Mati

Pegiat Literasi dan penikmat buku politik

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Opinion Leader dan Problem Kesenjangan

14 Juli 2023   15:14 Diperbarui: 21 Oktober 2023   21:54 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PEMIMPIN itu pelopor. Termasuk dalam hal menjadi lokomotif isu dan gagasan baru. Atau yang akrab kita sebut dengan istilah opinion leader atau pemuka pendapat. Ini merupakan suatu konsep yang tidak asing bagi kegiatan kehumasan. Semua kita tentu mau menjadi opinion leader.

 Konsep ini secara harafiah, ditujukan kepada para pemuka pendapat atau mereka yang secara formal memiliki pengaruh dalam masyarakat. Meminjam pemahaman dalam perspektif sosiologi komunikasi, opinion leader digambarkan sebagai tokoh yang memiliki pengaruh.

Problem lain yang berkembang dan merusak citra seorang opinion leader ialah keteladanan. Sering isu atau informasi yang disampaikan tidak semuanya dapat diyakinkan melalui tindakan. Distrust terjadi. Tak jarang opinion leader menjadi pecundang dalam konteks tertentu.

Dalam lingkup sosial politik, pemimpin memiliki pengaruh yang luar biasa. Tak dapat abaikan, ketika suatu negara tidak mengalami kemajuan pesat, bahkan jalan di tempat, dan mundur menuju kehancuran, rakyat menyalahkan pemimpinnya.

Itu sesuatu yang wajar. Pemimpin wajib ditagih pertanggungjawabannya oleh rakyat yang dipimpinnya. Bagi pemimpin yang lemah kritik dan kemarahan publik atas kinerjanya, direspon dengan pembenaran. Mencari alasan untuk menampilkan diri bahwa pemimpin tersebut tidak pernah salah. Telah sukses.

Berbeda dengan pemimpin yang kuat dan berfikir futuristik. Mereka memandang, merespon perbedaan pikiran yang tumbuh dari rakyat sebagai kekuatan. Kritik diambil sebagai masukan untuk memperkuat kepemimpinannya. Kemarahan rakyat dimaknainya sebagai sesuatu yang lumrah. Rakyat tidak dibenci.

Itulah cermin ''looking glass'' dari pemimpin yang berfikir sehat, berfikir waras, dan berfikir benar. Berbeda dengan pemimpin yang berfikir sakit. Segala pandangan yang beragam dinilainya sebagai cara pihak lawan menyerangnya. Lalu dia menjadi antikritik. Merasa paling benar, tidak menerima pendapat rakyat.

Perbedaan kepemimpinan itu ada tandanya. Silahkan melihat ''looking'' dari ukuran keberhasilan pembangunan, baik dari dimensi pendidikan, sosial, ekonomi, moral etika, keteladanan, pembangunan fisik, kesantunan menanggapi reaksi rakyat, kehidupan demokrasi, dan yang ada korelasinya dengan aspek publik lainnya.

Dari tanda keberhasilan dan standar keberhasilan memimpin dari pemimpin tersebut, rakyat akan menggaris bawahi atau membuat bottom line. Kebanyakan pemimpin kita di Indonesia membangun trust melalui jalur opinion leader. Ini penting, namun harus diimbangi.

Yakni melalui konsistensi menjalankan ide atau gagasan yang diucapkan kepada rakyat. Opinion leader, sebagai pemimpin atau seseorang yang berhubungan erat dengan media massa. Mereka yang paling awal mengadopsi ide-ide baru. Kecenderunagnnya pemimpin seperti ini selalu kreatif. Punya pemikiran pembaharu.

Selalu memenangkan pertarungan isu atau pemberitaan di media massa. Rakyat dapat mengenalinya melalui opini-opini yang dibangunannya. Tentu pemimpin model ini punya sisi positif, dan juga sisi negatif. Kalau opini melampaui kerja, maka ini berpotensi merusak. Dan dampaknya pembodohan.

Penguasaan opini dimonopoli atau dikontrolnya. Tapi, sayangnya dalam dunia nyata ia kalah membangun prestasi melalui kerja-kerja konkrit. Sebetulnya opinion leader menjadi positif jika, apa yang dipublikasikan, disampaikan ke publik, dan bersifat positif itu dilaksanakan dengan baik. Tanpa ada kesan tipu-tipu.

Pemimpin yang mengandalkan pendapat sebagai kunci atau yang disebut sebagai KOL "Key Opinion Leader''. Pendapat dalam sudut pandang yang membangun, bukan yang manipulatif, dan merusak. Bukan mereka para pemimpin yang disaat menjadi kontestan dalam Pemilu hanya mengejar insentif elektoral atau coattail effect, lantas setelah menang ia menjadi penipu dan predator bagi rakyatnya sendiri.

Kebiasaan berpolitik yang sekedar memenangkan opini, lalu menjahati rakyat seperti itu harus diamputasi. Ketika diwariskan atau dilakukan pembiaran, kelak cara yang buruk itu difragmentasi menjadi jalan keselamatan bagi politisi-politisi mendatang. Padahal ini menyesatkan.

Perlu ada pembenahan. Tidak boleh dianggap hal biasa dalam menghadapi peristiwa basa-basi dan peristiwa saling berkhianat dalam panggung politik kita. Bagaimana tidak, politisi kita memang sering bermain cornering. Mereka pandai bermain teknik melahap tikungan dalam kecepatan tinggi.

Mereka tak terlalu menghitung resiko keselamatan. Yang penting menang. Ini sangat beresiko tentunya. Apalagi mereka politisi yang menjadi opinion leader bertarung dengan melibatkan ego masing-masing. Banyak contoh telah kita temukan dari hal kerang tepat yang dilakukan politisi tersebut, yaitu lahirnya diametral atau polarisasi.

Selayaknya politisi menjadi seperti amplifier kebenaran. Menjadi pengeras suara untuk membangun kesadaran pada rakyat agar bersatu. Saling memperkuat, bukan senang dengan konflik dan selalu dibenturkan. Peran-peran semacam itu yang dibutuhkan. Jangan lagi politisi menjadi amplifier kebohongan.

Mereka yang menjadi opinion leader juga erat kaitannya atau disetarakan dengan influencer (pemberi pengaruh). Yaitu orang-orang yang memiliki banyak follower (pengikut). Mereka juga memiliki kemampuan mempengaruhi di media sosial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun