DEMOKRASI sebagai jalan untuk menuntut rakyat dalam kehidupan yang lebih baik. Jauh dari pertentangan, jauh dari konflik, dan mendekatkan rakyat menuju kesejahteraan. Sebagai sistem nilai demokrasi menawarkan kebersamaan, kerukunan, persatuan, toleransi, dan tegak pada kebenaran universal.
Termasuk dalam urusan memilih pemimpin, kita butuh demokrasi sebagai guidance. Kenapa demokrasi kini melahirkan kerumitan?, apalagi disaat momentum pemilihan umum. Padahal cita-cita demokrasi menurut Hatta memberikan tiga prinsip dasar untuk demokrasi Indonesia, yakni unity (persatuan), liberty (kebebasan) dan fraternity (persaudaraan).
Â
Rakyat tentu berharap cita-cita demokrasi diterapkan. Kebenaran dan kebaikan dicontohkan politisi. Yang tercermin, masih ada orang-orang masyhur atau terkenal di negara ini, terlebih politisi lebih sibuk mengabdi pada sesama manusia. Lalu korupsi. Mengejar kenyamanan dunia dengan menjatuhkan orang lain.
Bagaimana demokrasi bisa meningkatkan kualitas diri dari rakyat, kalau tiap agenda pemilihan umum rakyat dikacaukan dengan politik adu domba. Dan itu bermuara dari para politisi. Peta perjalanan yang buruk inilah yang membuat demokrasi makin gelap. Demokrasi kita semakin tertinggal bahkan mengalami titik balik atau turning point.
Elit politik kita harapkan dapat mengambil hikmah dari konflik sosial yang terjadi di tengah-tengah rakyat. Kerumitan itu mau ataupun tidak dipicu dari perilaku para politisi yang cenderung berorientasi pada kemenangan politik. Politisi yang haus kekuasaan, lalu mempropaganda rakyat sesukanya demi mendapatkan kekuasaan yang dikejarnya.
Politisi yang hanya mau hidup mewah. Mereka lupa bahwa dunia fana, tidak kekal. Buktinya dalam praktek politik para politisi semacam ini tak segan-segan bersikap berlebihan demi memperoleh kekuasaan politik yang sedang mereka targetkan. Politis yang hanya mengejar hal-hal duniawi, ini berpotensi menjadi su'ul khatimah. Â
Pergeseran budaya dalam politik terjadi di Indonesia. Tidak sedikit politisi yang melakukan penentuan posisi atau positioning politik hanya atas motivasi meraih kekuasaan. Secara kelembagaan politik, maupun politisi itu sendiri membuat bargaining, dan kerap menghalalkan segala cara.
Inilah model perubahan. Dimana cara pandang politisi bermutasi dari politik gagasan, berpindah atau bergerak ke politik materi. Segala urusan mendapatkan kursi empuk kekuasaan bukan lagi mengandalkan pengetahuan dan pengalaman sebagai andalan. Melainkan kekuatan logistik.
Sepeti dalam buku karya Fritjof Capra ''the turning point: Titik Balik Peradaban Sains Masyarakat Dan Kebangkitan Kebudayaan''. Dijelaskan tentang dinamika yang mendasari problem-problem utama kita yaitu munculnya jenis virus baru.
Yang dimaksud sebagai jenis virus baru yakni berupa kriminalitas, perlombaan nuklir, polusi, bencana alam, inflasi, krisis energi adalah satu dan sama. Semuanya merupakan residu peradaban yang tidak tereduksi oleh sistem yang kita kenal dengan modernisme.
Fritjof menyebut kita sudah sampai pada puncak perubahan yang dramatis dan penuh resiko. Sebuah titik balik bagi keseluruhan planet. Disaat seluruh perangkat peradaban lama sudah menjadi usang dan tidak dapat lagi menggerakan roda sejarah, kita perlu visi baru tentang realitas.
Sebuah visi yang akan memungkinkan dunia kita ke dalam sebuah aliran yang padu, menjadi gerakan positif bagi perubahan sosial. Seperti itulah peta kekuatan global yang mulai bergeser. Tentu memberi dampak pada situasi Indonesia. Terlebih dalam tatanan berdemokrasi kita.
Lihat saja berbagai pergeseran-pergeseran kebiasaan dalam kancah demokrasi politik mulai berubah. Dari kebiasaan gotong royong, kekuatan kebersamaan, kekeluargaan, diubah. Menjadi materialistis. Segala hal dalam urusan demokrasi diukur dengan materi. Ini tantangan besar kita di indonesia.
Resiko paling buruk dari kondisi tersebut ialah lahirnya kekacauan di tengah rakyat diakibatkan dari salah pilihnya rakyat terhadap pemimpinnya. Kesalahan yang tumbuh dari rakyat dan dipicu dari para elit politik, atau politisi pada umumnya. Dimana kelompok berduit telah membiasakan rakyat dengan cara politik uang.
Memilih harus dibayar. Setelah memilih, dan agenda demokrasi usai, para pemimpin itu kembali menjarah, menjadikan rakyat sebagai budak. Mereka kembali memangsa rakyat dengan sikap rakus dan korup. Cara tersebut sangatlah berdampak merusak demokrasi kita. Demokrasi akhirnya mengalami titik balik.
Demokrasi dipress menjadi praktek materialistik. Hitungan untung dan rugi dimasukkan dalam logika berpolitik. Padahal ini sangat berbahaya. Politik sebetulnya berkait dengan urusan pengabdian, nurani, dan panggilan bekerja untuk banyak orang. Bukan soal untung atau rugi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H