Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Literasi progresif

Pegiat Literasi dan penikmat buku politik

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Segregasi Politik dan Embrio Keretakan Demokrasi

27 Mei 2023   19:17 Diperbarui: 16 Juni 2023   17:57 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


KORUPSI
yang mewabah di Indonesia membuat kepercayaan publik terhadap politisi menjadi menurun. Karena sebagian besar para koruptor notabenenya adalah politisi. Indonesia darurat korupsi, terlebih kasus-kasus tersebut mencuat seiring dengan tahun politik.

Teringat apa yang disampaikan Soe Hok Gie, seorang aktivis Indonesia (1942-1969). Menurutnya, makin redup idealisme dan heroisme pemuda, makin banyak korupsi. Mari kita flashback tentang keresahan Gie, ternyata benar. Dimana praktek menggadaikan idealisme yang dilakukan pemuda di era pasca reformasi begitu nampak.

Para aktivis pemuda, bahkan mahasiswa marak kita temukan tidak lagi memandang idealisme sebagai sebuah kemewahan. Sebagai barang mahal, tapi direduksi menjadi begitu murah. Idealisme dijadikan nilai tukar tambah politik praktis.

Demi jabatan dan mendapatkan sesuatu generasi muda saat ini tak tanggung-tanggung mengobral murah idealismenya. Ironis, namun seperti itulah faktanya. Bibit-bibit korupsi mulai tertanam sejak menjadi mahasiswa. Tradisi agung melalui baca buku, diskusi, dan menulis mulai surut.

Kebiasaan buruk mengakrabi, dan memulai mencoba hal-hal politik praktis dilakukan. Praktek yang bertolak belakang dengan semangat demokrasi, berbeda jalan dengan semangat moral force. Kondisi tersebutlah yang menghentikan mahasiswa dalam dakwah, dalam jihat kebenaran. Diharapkan menjadi toa dalam menyampaikan suara keluhan dan derita rakyat pada pemerintah. Nyata, mahasiswa, kelompok muda lemas.

Tidak lagi peka. Menjadi apatis dengan kebutuhan rakyat. Yang dipikirkan hanya kepentingan sendiri, komunitas, dan manfaat personal. Titik rendah dalam gerakan kemahasiswaan harus dibangkitkan. Bukan soal tak ada musuh bersama. Melainkan kemauan untuk berfikir kritis, berpihak pada rakyat kecil.

Hal itu harus dilandasi dengan semangat mau belajar. Melawan kooptasi atau hegemoni kaum pemodal. Jangan bermain-main dengan kepentingan pragmatis, politik transaksional. Mahasiswa harus mengalienasi dirinya dari kegiatan-kegiatan serupa karena itu hanya akan menumpulkan daya kritis mahasiswa.

 Merosotnya Gerakan Moral

Sadar ataupun tidak, eksistensi gerakan mahasiswa kini telah memudar. Merosotnya gerakan moral yang menjadi alat kontrol sosial, dan berpihak pada rakyat disebabkan berbagai motif. Satu diantaranya karena mahasiswa meninggalkan tradisi suci. Tidak lagi benar-benar memanfaatkan waktu kuliah untuk belajar. Membaca buku, berdiskusi, dan menulis. Lalu semua aktivitas itu direfleksikan melalui aksi.

Harus ada pemantik. Baik dari internal atau eksternal. Agar mahasiswa tidak terninabobokan dan merasa eforia dengan capaian akademisi yang diraih di kampus. Mahasiswa punya tanggungjawab sosial. Tidak boleh mahasiswa mengevakuasi dirinya dari keluh kesah rakyat. Mahasiswa wajib bersama rakyat.

Bangun paradigma kritis untuk mendinamisasi situasi politik yang kian becek. Karena sebelum giliran kepemimpinan tiba kepada kaum aktivis mahasiswa, mereka terlebih dahulu harus menyiapkan diri. Belajar, mengendalikan diri, tidak tergoda dengan bujuk rayu kekuasaan yang membuat mahasiswa menjadi oportunis. Fokus saja belajar, dan bela rakyat yang merasa kepentingannya diabaikan pemerintah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun