Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Literasi progresif

Pegiat Literasi dan penikmat buku politik

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Upeti dan Tumbal Politik

2 Mei 2023   10:58 Diperbarui: 2 Mei 2023   12:29 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik selalu meminta upi, dan juga tumbal. Itulah mudharatnya jika politik tidak diberangi pengetahuan, kemanusiaan, serta moral. Kita hidup di era modern, namun tersandera ''post-truth'' yang penuh hasut dan kebencian. Politik etis terkonversi menjadi barbar. Materi (finansial) dijadikan ukurannya.

Politisi yang benar-benar istiqomah berjuang untuk rakyat dijegal. Lahirlah politisi yang menggunakan atribut-atribut agama sebagai topeng dan jubah mereka. Ruang politik begitu terbuka lebar, memberi ruang pada kelompok sekuler untuk menjalankan ''dakwahnya''.

Mereka menciptakan pemisahan antara politik dan agama. Hasilnya korupsi merajalela. Saling bantai, hasut menghasut dianggap bagian lazim dalam praktek politik. Padahal hal tersebut melahirkan kerentanan konflik. Harusnya dihindari. Dengan alasan apapun, politik saling hasut sangat merusak.

Para Capres dan Cawapres kelak yang bertarung di Pemilu 2024 pasti lahir dari konsesi politik. Yang mana, konsesi itu berisi ''upeti'' dan meminta tumbal. Para pemimpin masa depan di republik ini sudah diikat kakinya sejak menjadi calon pemimpin. Menyedihkan, sekaligus mengerikan bukan.

Sebagian pengamat politik, pakar, dan pegiat demokrasi masih menunjukkan optimismenya bahwa masih ada pemipin yang ''perkasa'' mampu menolak takluk. Pemimpin tersebut diberi ''challege'', setelah terpilih ia harus mampu mengendalikan cukong dan oligarki. Suatu hal yang tidak mudah tentunya.

Dimana-mana pembuat boneka atau perancang robot pasti lebih tahu dan mengenal kekuatan, kelebihan, serta kekurangan produk ''karya'' yang diciptakan tersebut. Sangat sulit rasanya, bahkan mustahil robot yang diciptakan lantas balik menerkam sang perancang atau pembuat robot. Kecuali robot telah diintervensi. Dimodifikasi.

Praktek politik di tanah air memang penuh dengan bau busuk upeti. Contoh paling marak terjadi ialah memilih karena tendensi atau ketertarikan uang. Elit partai politik memberi dukungan surat rekomendasi terhadap calin Kepala Daerah mereka harus menerima setoran terlebih dahulu. Politisi miskin akan sulit menang.

Akhirnya terlahirlah high cost politic ''politik berbiaya tinggi''. Figur pemimpin yang surplus gagasan dan pengalaman sekalipun jika tak punya modal logistik politik akan kalah dalam bertarung di tahun politik 2024 ini. Pengalaman berdemokrasi sebelum-sebelumnya telah membuktikan itu.

Rakyat kita lebih nyaman memilih yang seperti itu. Kalau mau maju daerah dan negara ini, persepsi, kemudian praktek berpolitik yang buruk seperti demikian harus dirubah. Kita butuh perubahan serius dalam tatanan politik. Jangan lagi rakyat dibiasakan dengan politik serba upeti. Rakyat harus diselamatkan.

Tumbal politik biasa dijahit atau diikat disaat tawar-menawar kepentingan di awal. Sejak dini calon pemimpin itu dibebani dengan kompensasi politik. Deal dibangun dengan berbagai alasan. Itulah senyata-nyatanya tumbal politik di era demokrasi. Sedari awal calon pemimpin telah diberi beban.

Manakala kesepakatan pikirin tidak dijalankan setelah menang, lalu politisi tersebut sok tau, pas akan disandera. Ia dikeroyok para pemodal atau pihak-pihak yang berjasa atas kemenangannya tersebut. Bukti atas hal itu sudah banyak kita saksikan di republik Indonesia ini. Umumnya tumbal dari proses demokrasi itu berbentuk investasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun