Rakyat menjadi rentan dieskploitasi. Kerawanan ini ditandai dengan masing-masing pihak telah mulai menunjukkan sikap partisannya. Menjagokan siapa figur yang mereka anggap layak diusung sebagai Capres.
Dan ruang ini harus diperhitungkan matang-matang. Dimana masa kampanye resmi yang ditetapkan KPU, melalui batas waktu tertentu akan memberi dampak terhadap iklim demokrasi kita.
Kondusifitas dan instabilitas sosial dimasa tahun politik, sangat bergantung pada lama atau tidaknya kampanye calon. Jika politik melahirkan edukasi politik, maka budaya demokrasi akan diterapkan.
Kesantunan, kejujuran, keadilan, dan transparansi ditampilkan. Tapi, sebaliknya bila edukasi politik diabaikan, pasti kekacauan demokrasi terjadi. Sesama politisi saling berebut kuasa, dan saling sikut.
Politisi dan pemilihnya akan saling memangsa. Etika politik dianggap tidak penting. Menormalkan itu semua, maka publik figur harus berperan aktif menstabilkan ceruk pemilihnya. Jangan biarkan pemilih berkelahi.
Rebutan lahan kampanye atau rebut-rebutan basis pemilih. Saling klaim kebenaran dalam politik, juga menjadi salah satu sumber penyumbang konflik dalam politik. Ini ranjau dan racun dalam demokrasi yang harus dihindari.
Termasuk tumbuhnya ceruk Pemilih yang tak mau disatukan akan menjadi bom waktu bagi demokrasi. Ya, disatukan dalam arti membangun kepentingan bersama. Perbedaan diperselisihkan. Ini problem serius parpol.
Problem yang krusial manakala parpol abai terhadap ceruk pemilih yang masing-masing memperkuat sikap fanatisme dan militan. Pasti muncul konflik horizontal, bila masing-masing pihak diadu. Tak mau saling legowo dan mengalah. Merasa calon pemimpin yang diperjuangkan itu layak. Titik temu tidak ditemukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H