Bukan pelanggar HAM, anti politik identitas, mendukung calon pemimpin yang melanjutkan program kerja Presiden Joko Widodo. PENA 98 yang dipimpin Adian Napitupulu, sebagai Sekjen ini mengambil sikap berpihak pada kepentingan rakyat. Menolak pasangan Capres yang terlibat korupsi.
Ada yang luput sepertinya, mungkin dianggap tidak penting bagi PENA 98. Bahwa kekuatan oligarki tak berani disentuh, dikritik, atau dilawan. Situasi ini menegaskan PENA 98 tak mau manjadi barrier bagi kelompok oligarki yang saat ini menggerogoti pemerintah.
Oligarki yang merupakan candu bagi tumbuhnya kesejahteraan rakyat. Mereka terdiri dari kelompok penguasa, geng politik, segelintir orang saja, juga pemerintah yang memiliki kepentingan bersama dalam melestarikan kekuasaan. Oligarki bukan sekedar cenderung mematikan demokrasi.
Melainkan, nyata-nyata mengambil posisi anti demokrasi. Oligarki menjadi lawan tanding yang kuat bagi demokrasi. Ketika demokrasi berkembang benar dan sehat, oligarki akan tumbang. Begitu juga sebaliknya, bila oligarki tumbuh, demokrasi akan terbunuh, mati, terancam, dimatikan.
Demokrasi dan oligarki akan selamanya saling berlawanan. Karena keunggulan dan keutamaan demokrasi ialah tidak mau larut atau tidak menghormati keputusan suara mayoritas rakyat. Oligarki lebih patuh pada konsensus kelompoknya sendiri. Apa yang bermanfaat menurutnya akan diperjuangkan.
Sehingga dalam kenyataannya, ketika rakyat teriak keadilan dan kesejahteraan diabaikan. Namun, posisi oligarki melawannya, maka suara-suara suci itu akan padang. Tak terdengar lagi. Dan yakinlah yang mampu survive dalam siklus pertarungan itu adalah oligarki. Mereka punya kekuatan super power.
Ada uang dan kekuasaan yang menjadi alat kendali luar biasa. Itu sebabnya, semua kepentingannya dapat dengan mudah diatur, diarahkan sesuai kepentingan kelompoknya. Yang krusial dari kriteria menetapkan calon pemimpin seharusnya aspek dominasi oligarki yang ditolak. Menjadi perhatian serius.
Memangkas calon pemimpin yang terafiliasi dengan tirani, oligarki dan antek-antek pemuka status quo yang berlebihan. Membabi-buta, karena mereka kebanyakan juga menjadi aktor penghasut. Kampanye terhadap figur yang diendorse juga penting diperhatikan para aktivis 98. Bagaimana tidak, kalian adalah player lapangan saat era reformasi direbut.
Secara otomotasi rakyat menitipkan harapannya, kenapa anda para aktivis 98. Label ini begitu berat, sangat kami hormati sebagai generasi penikmat reformasi (era 2000-an). Tentu aktivis 98 akan menjadi role model yang gerak langkah, pernyataan, dan perjuangannya memiliki magnet bagi rakyat.
Seharusnya PENA 98 menggenapkan menjadi sepuluh poin untuk penentuan kriteria calon Presiden dan calon wakil Presiden RI. Selain kekuatan oligarki yang ditolak, tolak juga calon pemimpin yang tidak mengandalkan uang sebagai strategi pemenangan kampanye (politik transaksional) dan abuse of power.
Dua poin yang menjadi usulan saya ini sedang marak menyerang jantung dan urat nadi demokrasi kita. Itu realitasnya, tidak bisa dinafikkan para elit politik. Artinya, dari titik tumpuan, titik start tersebut akan menghasilkan titik temu demokrasi yakni lahirkan kepemimpinan yang merakyat.
Pemimpin yang tidak berdasarkan hasil manipulasi atau tipu-tipu elektoral. Kesadaran dan keberanian itu yang mesti disentuh, juga dilawan para aktivis 98 sebagai bentuk pertanggungjawaban moralnya. Aktivis 98 sebagai simbol perlawanan terhadap otoritarianisme, kesewenang-wenangan, dan kesombongan.
Tidak hanya itu, tapi juga bertugas menyusun dan menata Indonesia agar lebih maju. Lebih sejahtera, adil, menghormati nilai-nilai kemanusiaan. Indonesia yang menjunjung tinggi kesetaraan, melawan monopoli. Baik itu monopoli kekuasaan, monopoli ekonomi, serta cara timpang dalam praktek sosial lainnya. Itulah yang dikritik keras kalangan aktivis 98.
Indonesia pasca reformasi harusnya lebih menunjukkan wajah kemanusiaannya. Bukan wajah garang oligarki. Demokrasi juga menghajar praktek politik dinasti yang dibangun Soeharto. Rasionalitas dalam memandang kondisi bangsa, komitrmennya memperjuangkan rakyat harus diperjuangkan ulang.
Patut dihindari jangan sampai rakyat dijadikan alat tukar tambah kepentingan. Jangan mau generasi pejuang reformasi menjadi tumbal dari para senior-seniornya untuk tukar guling kepentingan pemodal. Cukupnya di era itu, para aktivis 98 berjuang berdarah-darah demi membebaskan Indonesia dari cengkraman pemimpin ''diktator''.
Di pundak paktivis 98 Indonesia ditempatkan. Bila kemudian, sesama aktivis 98 bertengkar, tak punya satu visi yang sama, maka terabaikanlah harapan rakyat. Lalu, pertarungan sesama aktivis 98 itu didesain oleh para cikong, pemodal Pemilu 2024. Sungguh menyakitkan, sungguh merugilah rakyat.
Sebagai generasi yang tumbuh setelah reformasi kita juga merindukan kekuatan aktivis 98 itu bersatu. Punya semangat juang yang sama untuk kebaikan rakyat dan Indonesia tercinta. Bukan untuk kepentingan partai serta ego masing-masing. Jangan rakyat dikorbankan.
Para aktivis tentu lebih mahfum bagaimana dalang dan wayang bermain dalam politik praktis. Untuk itu penting dibuatkannya portal, atau tembok agar dapat membentengi rakyat dari praktek salah pilih pemimpinnya. Disinilah pentingnya mengatur kriteria calon pemimpin secara baik dan benar.
Pertanggungjawaban sejarah akan ditagih generasi Indonesia mendatang, dari para aktivis 98 jika dikemudian hari standar dan kriteria yang diusung itu tergadaikan. PENA 98 akankah menjilat ludahnya ketika PDI Perjuangan memutuskan untuk mendukung figur yang tidak masuk dalam delapan kategori tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H